Balasan Perselingkuhan Suamiku – Cerita Mesum
Sungguh aku amat bahagia sekali ketika Mas Dodo mengajakku pindah rumah yang baru dibelinya secara cicilan, namun amat bagus dan sesuai dengan seleraku. Apalagi dari pernikahanku yang memasuki tahun kelima ini kami telah diberi seorang momongan anak perempuan yang cantik dan lucu sekali. Usianya baru menginjak tiga tahun.
Sebelum ini kami menempati rumah kontrakan yang kami sewa secara tahunan. Namun merasa semakin besarnya dan untuk perkembangan pertumbuhan anak kami makanya Mas Dodo mengambil inisiatif untuk mengambilnya juga, meski dengan harga yang cukup mahal menurut aku. Padahal dulunya orangtuaku mengajakku untuk tinggal serumah dengan mereka.
Namun karena inisiatif Mas Dodo yang ingin membentuk kelurga yang mandiri maka sebagai istri aku harus menurut kata suamiku. Kini kami sudah menempati rumah hasil jerih payah kami selama ini, yang meskipun cicilan namun bentuk dan luas bangunan rumah ini amat cukup untuk kami membesarkan anak-anak kelak.
Selain memiliki halaman yang cukup dan garasi yang bisa menampung dua buah mobil kami. Di belakang rumah juga ada pekarangan yang bisa kami gunakan untuk bersantai dan bermain si kecil. Mas Dodo amat tepat memilih lokasi yang masih cukup jauh dari hiruk pikuk kota juga telah memiliki berbagai fasilitas dan akses yang mudah ketempat kami bekerja.
Sengaja hingga saat ini aku tidak mengambil pembantu atau baby sitter, karena aku ingin membesarkan anakku dengan kasih sayangku sendiri dan memberikan perhatian untuk pertumbuhan buah hati kami. Jika aku berangkat kerja,maka anakku aku titipkan kerumah ibu yang letaknya tidak jauh dari kantorku.
Jadi jika istirahat kantor aku bisa melihat anakku. Ibukupun tidak keberatan jika anakku aku tinggal. Beliau amat suka dan sebagai hiburan baginya, karena adikku yang bungsu sering tidak di rumah dan sibuk kuliah. Kini setiap sore, aku selalu menjemput anakku di rumah ibu. Setiba di rumah aku pun beres-beres pekerjaan rumah juga masak seperlunya untuk sarapan kami sekeluarga. Syukurlah suamiku orangnya tidak neko-neko.
Ia amat menikmati saja apa yang aku suguhkan di meja makan. Padahal aku tahu ia amat lapar jika pulang kantor malam hari. Aku selalu membuatkan masakan kesukaannya jika hari Sabtu, dimana kami bisa berkumpul lengkap karena libur kantor. Biasanya kami mengisinya dengan masak-masak, atau terkadang makan diluar atau berkunjung kerumah ibu.
Dan biasanya ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan kami. Selama ini aku rasakan hidupku amat bahagia, memiliki seorang suami yang pengertian dan baik. Dengan rutinitas yang semakin padat juga karena kenaikan jabatan suamiku, maka akhirnya akupun minta mengundurkan diri dari pekerjaan karena buah hatiku amat membutuhkan perhatianku.
Namun pimpinan tempat kerjaku malah meminta aku agar tetap bergabung dengan mereka dan aku diberi kelonggaran dengan kerja paruh waktu, aku diberi kebebasan bisa masuk kantor atau terkadang mereka memberikan aku perintah kerja dengan fasilitas online yang terhubung ke rumah aku. Mereka merasa amat membutuhkan tenagaku. Jadi kini aku seakan lega karena selain bisa terus eksis di pekerjaan aku juga bisa mengawasi perkembangan anakku.
Namun kini kebahagiaan aku agak sedikit terganggu dengan adanya gangguan gangguan kecil di rumahku. Jika di saat aku akan keluar rumah dengan mobilku selalu melewati pos penjagaan yang dijaga seorang satpam perumahan. Aku amat merasa tidak nyaman akan pandangannya yang aku rasa amat kurang ajar itu. Terkadang aku sempat memergoki pandangan matanya ke arah belahan blus kerjaku.
Aku merasa risi dipandangi seperti itu. Aku juga merasa ditelanjangi jika berpapasan dengannya. Sudah sering memang kejadian ini aku alami di pos rumahku ini. Pernah aku ingin bilang pada suamiku, namun aku masih menahannya agar dia tak merasa terganggu. Namun tiap kali aku lewat dan bertemu pandang dengannya dia selalu menatapku seperti menatap secara cabul. Akhirnya aku tak tahan, suatu malam aku bicarakan dengan suamiku.
Cerita Sex – Balasan Perselingkuhan Suamiku
“Pa…papa kenal dengan satpam yang item dan gendut itu pa?” tanyaku.
“Yang mana?” suamiku bertanya balik dan mengingat ingat.
“Itu tuh yang brewokan itu.” kataku menerangkan.
“Ooohhh…abang Saroji, ya itu namanya Abang Saroji” lalu suamiku bertanya “memangnya mama ada urusan apa dengan dia?”
Lalu aku jawab, “Dia koq jika melihat aku tuh seperti mau menelanku mentah mentah lo Pah?”
Sambil tertawa suamiku bilang, “Ah…dia orangnya baik koq.. papa aja sering ditawari kopi jika papa pulang malam. Mungkin dia gak tau kali, jika mama adalah istri papa.” terang suamiku.
“Tapi dia amat kurang ajar lo pah…dari pandangannya itu.” terangku lagi. .
“Yah…mungkin dia jarang lihat orang cantik seperti mama, jadi dia tuh, masih agak kaget.” jawab suamiku sambil membelai rambutku…
“Ah…papa. . jawabku….” agak manyun. .
“Aku takut pah…” jawabku lagi…
“Ya, mungkin aja mama dia lihat agak lain dengan yang lain, misalnya mama jarang senyum atau nyapa dia… Jadi ya dia kayak itu…” terang suamiku lagi. Aku diam mendengar keterangan suamiku. Memang ada benarnya juga kata kata suamiku itu. Selama ini aku jarang bertegur sapa dengan satpam itu. Apalagi mau senyum, memang sih aku akui itu.
Di blok rumahku memang baru ada dua rumah yang terisi, namun jarak rumahku dan rumah yang satu lagi agak jauh. Apalagi penghuninya jarang keluar rumah dan tampaknya rumah itu jarang ditempati pemiliknya yang seorang karyawan swasta di Jakarta, mungkin rumah itu diambilnya hanya untuk investasi saja. Aku jarang melihat penghuninya.
Dan masih menurut suamiku, kami yang tinggal di tempat baru ini harus bisa agak sedikit ramah kepada masyarakat sekeliling sebab pemukiman ini baru saja selesai dan di balik tembok pembatas perumahan ini ada perumahan penduduk setempat. Suamikupun berkata bahwa tenaga-tenaga pembantu di blok blok lain kebanyakan dari penduduk di balik tembok itu termasuk satpamnya.
Akupun akhirnya berusaha merubah sikapku selama ini kepada satpam itu. Suamiku juga pernah dapat informasi dari pihak pengembang, bahwa bang Saroji itu adalah jawara di kampung itu. Dan karena alasan keamanan makanya pihak pengembang merekrutnya jadi tenaga keamanan di kompleks ini. Jadi tidak heran jika di antara sekian banyak tenaga satpam di kompleks itu adalah anak buah bang Saroji…. jelas suamiku.
Makanya suamikupun berusaha berbaik baik dengannya sebab tidak ingin nantinya diganggu oleh mereka.
Hari-hari berikutnya, akupun kembali sibuk seperti biasanya keluar dan masuk kompleks jika ada keperluan. Kini aku sudah berusaha untuk menyapa dan berbaik baik dengan satpam itu. Memang dia juga sudah mulai tidak menakutkan aku lagi jika bertemu di pos.
Namun yang aku masih risi adalah pandangan matanya yang seolah menembus busanaku ini yang membuatku kurang nyaman. padahal aku sudah berpakaian dengan benar dan menurut norma ketimuran. Akupun semakin merasa tak nyaman jika dia yang menjaga di pos itu. Kini aku semakin tersiksa karena suamiku semakin sering dinas keluar kota karena jabatannya bertambah tinggi.
Terkadang mas Dodo keluar kota untuk seminggu atau paling cepat tiga hari. Saat aku di rumah berdua dengan anakku seakan ada yang mengintai. photomemek.com Kadang jika tengah malam terdengar krasak-kusuk di pagar rumahku atau lemparan kerikil di atapnya. Aku sering melihat keluar rumah, namun aneh tak ada seorang yang terlihat. Apalagi aku takutnya karena rumah di sebelahku masih banyak yang kosong.
Ingin rasanya malam itu aku menelpon mas Dodo atau minta pertolongan polisi, namun tidak kulakukan karena takutnya nanti malah ditertawakan karena belum ada bukti bahwa aku mendapat terror. Maka, semua itu aku pendam saja di dada, aku hanya berasumsi positif saja, mungkin itu adalah bunyi musang atau tikus yang berjalan mencari makanan di malam hari. Akhirnya malam itu aku tetidur karena pikiranku mulai capai, untunglah anakku tidak terganggu oleh bunyi-bunyian itu. Ia terlihat amat lelap tidurnya di kamar sebelah.
Pagi-pagi aku bangun dengan perasaan masih ngantuk yang amat sangat karena malam aku tertidur amat larut. Pagi itu suamiku nelpon mengabarkan bahwa ia mungkin pulang agak bergeser harinya, sebab banyak urusan yang belum kelar pada waktunya. Aku mengiyakan saja permintaan suamiku itu, tidak lupa ia juga menanyakan keadaan anak kami.
Akupun kembali larut dengan rutinitasku seperti biasanya. Aku kembali mengantar anakku sebelum masuk kantor. Syukurlah di kantor pekerjaanku tidak terlalu banyak. Aku hanya bertugas memeriksa hasil kerja staffku lalu aku bisa sedikit santai.
Sore seperti biasaya aku pulang dan menjemput anakku ke rumah ibu. Aku sempat istirahat sebentar di rumah ibu dan berbincang dengan beliau. Tak lama kemudian aku pun pulang ke rumahku melalui jalan yang sore itu agak sedikit macet. Syukurlah sampai di rumah tidak terlalu malam ya kira-kira jam 19.00 wib. Aku pun membersihan tubuh anakku dan tubuhku yang terasa penat.
Mister Sange – Kumpulan Cerita Selingkuh Satpam
Beberapa hari kemudian suamiku pulang dan membawa sedikit oleh-oleh untuk kami. Aku sangat bahagia karena kini kami berkumpul kembali seperti biasanya. Karena oleh-oleh yang dibawa suamiku tidak sanggup kami habiskan sendiri, ia menyarankan agar makanan itu diberikan saja pada Bang Roji.
Aku sich setuju saja sebab tidak mungkin bagi kami akan menghabiskan makanan itu. Namun suamiku minta aku yang mengantarkannya ke Bang Roji yang sedang berjaga di posnya. Yah…hitung-hitung basa basi pikirku. Akupun keluar rumah dengan mengendarai sebuah sepeda santai menuju ke posnya. Syukurlah malam itu, ia yang sedang jaga. Dengan sapaan lembut aku sapa dia.
“Bang Roji, lagi jaga ya.. bang?” tanyaku.
“Ooh,ibu Risa, ada yang perlu saya bantu?” jawabnya basa basi.
“Eehh…nggak koq Bang…ini…tadi Mas Dodo dari luar kota dan ia titip oleh-oleh ini.” aku menyodorkan bungkusan itu padanya.
“Aduh…koq ngerepotin toh bu.” katanya.
“Ah…. nggak koq bang, ada lebih aja.” jawabku.
Ia pun menerima bungkusan yang kubawa itu walau dengan sedikit rasa sungkan. Aku lalu minta diri untuk pulang. Menjelang pulang ia tak henti hentinya berterima kasih padaku dan juga titip salam buat Mas Dodo. Dalam hati aku tersentuh juga, rupanya dia juga baik tak seperti dugaanku selama ini.
Dia sempat menawariku kopi di posnya sebagai basa basinya padaku. Namun dengan alasan bahwa suamiku menunggu di rumah, aku pun menolaknya dengan halus dan pamit pulang. Aku lega sekali malam itu. Ternyata dia sungguh baik, tidak terlihat sedikitpun kebenciannya padaku juga mata nakalnya yang sering melahap tubuhku ini.
Malam itu aku pun bilang pada suami tentang salam yang dititipi Bang Roji padaku. Suamikupun lalu bilang, berarti aku salah sangka selama ini, mungkin saja tindakanku yang kurang berkenan pada dia selama ini.
“Nah. . kan apa kata Papa” kata suamiku, “semua itu tergantung kitanya Ma. Dia baik koq kalau menurut Papa”.
Habis berkata aku melihat suamiku senyum-senyum sambil menjilati bibirnya sendiri. Nah aku tahu, jika sudah begitu,dia pasti ada maunya. Aku lihat anakku sudah tidur dikamarnya. Dengan sedikit kode mesra dari suamiku, aku pun masuk kamar dan merebahkan tubuh di ranjang peraduan kami. Ia lalu ikut masuk dan menutup pintu kamar. Tidak lama memang, kami sudah dalam keadaan sama sama polos.
Malam itu kami ingin menuntaskan kerinduan yang mulai jarang kami dapatkan, karena kesibukan aku dan juga mas Dodo. Beda sekali jika dibanding saat saat tahun pertama kami menikah dulu. Kinipun paling sering kami melakukannya seminggu sekali. Itupun jika tidak terlalu capai. Terkadang aku yang siap untuk berhubungan namun suamiku tak siap.
Terkadang dia sudah siap namun aku yang lagi capai atau datang bulan. Dan malam ini kami ingin melakukannya lagi. Dengan cara bertahap dia belai dan ciumi setiap inci kulit tubuhku yang putih ini, tanpa terlewat seincipun. Dahagaku malam ini ingin aku tuntaskan bersama mas Dodo suamiku. Kini kami sudah siap siap untuk melakukan penetrasi.
Baru saja suamiku akan memasuki aku, tiba-tiba kami dikejutkan oleh bunyi kresek-kresek di jendela kamar kami. Langsung saja kami menghentikan aktifitas itu. Bergegas aku menutupi ketelanjanganku dengan selimut, suamiku bergegas membenahi celana dalamnya juga mengenakan baju. Ia bergegas melihat ke arah jendela dan membuka jendela ingin melihat apa yang terjadi di luaran.
Aku juga berusaha mengenakan kembali kimono tidurku. Dan menuju jendela tempat suamiku berada. Namun kami tidak melihat adanya aktifitas di luar itu. Semua sunyi senyap, padahal tadi kami tahu ada orang yang sedang mengintip kami. Juga di bawah jendela, ada jejak rumput yang terinjak.
Dengan sedikit emosi,suamiku lalu keluar rumah dan akan melaporkan ke pos jaga satpam. Dia lalu keluar rumah di malam yang gelap itu menuju pos satpam. Aku disuruh tinggal di rumah saja agar bisa menjaga anak kami.
Tidak lama kemudian suamiku pulang dan bilang, ia sudah lapor pada satpam dan dijanjikan akan selalu melakukan patroli. Maklum malam itu yang jaga hanya bang Roji, kata suamiku.
Semenjak kejadian itu, aku semakin yakin bahwa pengintip itu memang ada. Mungkin selama ini kami selalu diintip jika akan berhubungan suami istri. putri77.com Apalagi jejak rumput yang ada di pekarangan rumah kami menandakan ada seseorang yang memang iseng. Pikiran aku langsung saja tertuju pada bang Roji pelakunya.
Sebab mana mungkin bisa malam itu, orang lain masuk blok rumah kami sedangkan sekeliling di tembok, namun saat dilaporkan suamiku bang Roji beralasan bahwa mungkin saja ada orang dari kampung di balik tembok itu. Lagian ia berjanji akan mencari orang yang menganggu itu. Berbagai pertanyaan kembali berada di kepalaku tentang keterlibatan bang Roji malam malam selama ini.
Apalagi di blok aku tinggal hanya kami yang selalu ada di rumah. Beberapa lama kemudian memang tak ada gangguan lagi termasuk ketika saat suamiku terkadang keluar kota. Aku kini sudah merasa aman dan tak ada lagi yang aku kuatirkan. Begitu juga dengan Satpam yang bernama Saroji itu, ia terlihat sudah mulai akrab dengan aku dan keluargaku, dia sering menyapa dengan ramah.
Melihat aku yang agak kerepotan mengasuh anakku dan mengantar ke rumah ibu, suamiku menyarankan untuk mencari baby sitter. Pernah suamiku ngobrol dengan bang Saroji saat berhenti di pos jaganya. Dalam omong-omong itu, bang Roji menganjurkan agar anak kami di asuh istrinya saja jika kami pergi kerja.
Saat itu aku kurang respek terhadap anjuran suamiku, sebab aku masih belum bias menerima orang seperti keluarga bang Saroji itu. Namun lama kelamaan aku semakin kerepotan juga. Lalu aku minta agar istri bang Roji yang bernama mpok Esih agar mau menjaga anakku di rumahku. Apalagi dia juga bisa bantu aku nyuci pakaian kami. Dan kini mpok Esih sudah bekerja di rumahku meski hanya setengah hari.
Terkadang anakku dibawanya ke rumahnya di balik tembok kompleks ini. Kini aku sudah merasa agak tenang dan tak kerepotan lagi. Apalagi suamiku sering berada di luar kota. Bagiku mengenai gaji mpok Esih tidaklah masalah, yang penting aku merasa nyaman meninggalkan anakku padanya.
Begitu juga Mpok Esih tidaklah terlalu cerewet orangnya. Ia cenderung amat penurut. Dia tampaknya amat takut dan patuh pada suaminya Bang Roji. Dan selama ini aku lihat dia amat senang kerja setengah hari di rumahku.
Suatu hari di saat aku libur kerja, aku sempat nanya nanya padanya. Rupanya dia adalah istri tua bang Roji. Aku heran juga, kenapa orang seperti bang Roji bisa punya istri dua. Apakah tidak repot menafkahi kedua istrinya. Lalu Mpok Esih, bilang bahwa ia memang amat kesulitan dalam keuangan, dimana anaknya yang dua orang itu harus sekolah, dan gaji suaminya yang harus di bagi dua kepada istrinya itu.
Akupun bertanya kenapa dia mau dimadu. Dengan sedikit sedih dijawabnya bahwa sudah gak mungkin karena anak-anaknya butuh bapak, apa jadinya nanti anak-anaknya jika tak memiliki bapak yang akan menafkahinya. Apalagi Mpok Esih tidak memiliki keahlian yang bisa diandalkan untuk mencari nafkah.
Lalu beliau becerita tentang asal mulanya dia terpikat pada Bang Roji yang dulunya adalah seorang preman kampung lalu menuntut ilmu dan jadi jawara. Padahal dulunya Esih sudah dilamar oleh anak juragan sapi asal kampung tetangga. Dan saat itu, dia malah terpikat oleh sosok Saroji yang jawara kampung itu.
Dan jika dilihat dari sosok wajah dan perangainya ia tak ada apa apanya dibanding anak juragan sapi itu. Apalagi anak juragan sapi itu sekarang sudah jadi orang yang kaya di kampungnya. Dengan sedikit sedih mpok Esih berbincang panjang lebar tentang latar belakang suaminya yang kelam itu. Begitu juga dengan istrinya yang sekarang.
Bang Roji mendapatkan istri mudanya, di saat istri mudanya itu dulu kuliah kerja nyata di kampungnya. Istri muda bang Roji memang masih muda dan menurut mpok Esih masih seusiaku, namanya Indri, dulunya dia kuliah di sebuah universitas swasta dan melakukan kuliah kerja nyata di kampung itu.
Nah bang Roji amat kepincut dengan gadis kota yang cantik itu. Entah bagaimana caranya kata Mpok Esih, Indri malah mau saja dikawini Bang Roji yang terpaut usia 20 tahun darinya itu. Kini bang Roji sudah berumur 49 tahun kata mpok Esih.
Masih menurut Mpok Esih, dulunya sempat ribut-ribut dengan orang tua Indri yang tidak setuju atas perkawinan Bang Roji dan anaknya itu. Namun karena saat itu Indri sudah keburu mengandung akhirnya mereka tidak dapat berbuat apa apa. Dan kini dari Istri keduanya bang Roji mendapatkan seorang anak yang berusia 10 tahun.
Makanya sekarang bang Roji agak kerepotan memenuhi kebutuhan hidup kedua istri dan tiga orang anaknya itu. Kalau dulu dia cukup banyak uang, karena dari parkir dan kutipan pedagang kaki lima di pasar dia mendapatkan uang jago. Namun sekarang sudah tak bisa lagi karena sudah diambil alih pemerintah. Aku cukup terenyuh mendengarkan keterangan mpok Esih itu.
Aku pun kini selalu memberinya uang agak berlebih agar dia bisa kubantu semampuku. Sebab aku merasa dia amat bisa diandalkan untuk membantu aku. Kini kehidupan akupun berlanjut seperti biasa, namun kini gangguan di malam hari kembali mulai hadir. Aku merasa ada sepasang mata yang sedang mengintipku saat tidur di kamarku. Namun aku tidak terlalu takut sebab, aku tahu itu hanyalah orang iseng dan tak bermoral. Selain itu atap rumahku sering dilempar kerikil.
Aku pun tetap mengacuhkannya. Aku juga tidak melaporkannya pada suamiku. Dan kini aku kembali merasakan bahwa yang menganggu aku itu adalah orang yang sama yaitu satpam Saroji. Aku heran kenapa dia masih saja melakukan hal yang demikian padahal aku sudah berbaik baik pada istrinya. Aku tidak mau terlalu memikirkannya, tidak adil rasanya jika aku ikut melibatkan istrinya yang sudah amat susah karena perbuatan Bang Saroji.
Aku yakin saja itu perbuatan Satpam Saroji, sebab di balik sikap baiknya itu tersimpan maksud yang aku tidak tahu. Aku merasakan juga dia sering mencuri curi pandang padaku di saat dia membuka portal gerbang blok rumahku. Dan sampai sekarang aku tidak punya bukti tentang perbuatannya itu. Aku hanya merasa dari bisikan naluri kewanitaanku saja, bahwa orang ini tidak baik, itu saja.
Dan aku pun bersama suami pun kembali seperti biasanya. Suamiku pun pulang dari luar pulau dan kami pun melakukan refreshing. Kami pun pulang ke rumah malamnya dan malam itu kami melakukan hak dan kewajiban sebagai suami istri lagi. Di saat kami berhubungan itu, aku merasakan ada yang mengintai kami, namun untunglah suamiku telah mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur yang cahayanya cukup temaram.
Mister Sange – Kumpulan Kisah Sex Dewasa
Jadi orang di luar jika bisa ngintip ya tidak bisa menikmati seperti yang kami rasakan. Masih dalam keadaan bersenggama, suamiku membisikku, “Ma…ada yang ngintip.” katanya. Rupanya bukan aku saja yang merasakan suamiku pun tahu.
“Pasti orang itu akan pusing deh.” kata suamiku sambil memaju mundurkan kemaluannya di liangku.
Kamipun lalu tersenyum berbarengan dengan datangnya orgasme kami yang bersamaan. Setelah berhubungan malam itu, kami menutupi tubuh telanjang kami dengan selimut dan tidur hingga paginya.
Selama suamiku berada di sisiku, kami mulai mengacuhkan tindakan iseng orang yang melakukan pengintipan itu. Bahkan kini malah aku sepertinya sudah bisa melupakan semua itu meski di hati kecilku masih merasa kurang nyaman. Aku semakin yakin orang itu adalah bang Roji sebab dari caranya memandang aku aja sudah dapat kuterka, apalagi sering melirik bagian bagian sensitif di tubuhku jika ketemu.
Di depan aku aja dia bersikap ramah dan sopan, dia seperti musang yang berbulu domba yang siap untuk memangsa jika lengah. Lagian kini aku punya teman bicara jika di rumah yaitu istri tuanya bang Saroji dan bisa mengorek keterangan tentang latar belakangnya secara detail.
Memang pernah istrinya bilang bahwa bang Saroji itu memiliki suatu nafsu yang besar dan dia juga pernah melakukan hubungan seks dengan wanita lain selain istri-istrinya namun mpok Esih tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Ia tidak berdaya jika bang Roji selalu mengancamnya untuk menceraikannya jika terlalu ikut campur. Aku yang mendengar penuturan mpok Esih itu semakin trenyuh melihat penderitaan dan tekanan bathin menjadi istri bang Roji yang tidak punya malu itu.
Kini aku menjalani kehidupan secara normal dan amat bahagia bersama suami dan putri semata wayangku yang kini berusia tiga tahun ini. Memang aku rasakan kini kami sudah tidak lagi rutin melakukan kebersamaan di tempat tidur bersama suamiku.
Aku maklum saja karena Mas Dodo sering keluar kota dan aku disibukkan dengan berbagai tetek bengek pekerjaan kantor, juga rumah tangga yang membuatku seakan lupa akan hak dan kewajibanku. Kini kami hanya melakukan hubungan badan hanya dua kali sebulan kadang sekali saja. Memang kuakui terkadang di malam-malam tertentu aku amat membutuhkan belaian dan sentuhan seorang suami kepadaku.
Namun aku memendamnya sebab suamiku bekerja keras dan membanting tulang untuk kami juga nantinya. Makanya aku sampai saat ini masih tetap menjalani malam-malam yang sepi tanpa suamiku. Hingga pada saat suamiku pulang, kami pun melakukan hubungan badan untuk melepas rindu kami berdua.
Malam itu kami melakukannya beberapa kali hingga aku pun merasakan kepuasan yang amat membuatku lelah dan capai. Begitupun dengan suamiku, dia langsung tertidur dengan nyenyak sekali hingga ia tak menyadari adanya sebuah sms ke handponenya. Aku yang saat itu belum tertidur dan masih meresapi kenikmatan yang baru aku alami bersama suamiku meraih HP-nya.
Aku tak sampai hati membangunkan suamiku. Iseng saja aku buka sms itu, dan…. aku amat terperanjat dengan kata kata dalam pesan singkat itu. Pesan itu dari seorang wanita yang dari kata-katanya amat membuat bulu kudukku berdiri. Kalimat dalam sms itu mengatakan bahwa dia, wanita itu amat menikmati hubungan terlarang bersama suamiku selama ini dan ingin mengulanginya lagi jika suamiku ke kotanya.
Bagaikan petir di siang hari yang menghantam kepalaku, aku kaget sekali membacanya. Tidak aku duga sama sekali jika selama ini suamiku telah menyeleweng dariku. Ia memiliki wanita lain di kota lain. Pantas saja selama ini ia tidak begitu acuh terhadapku dan seakan tidak membutuhkan diri aku dalam hubungan biologis. Aku memandang tubuh suamiku itu yang masih tertidur dengan nyenyaknya.
Aku amat bersedih hati, di saat malam-malam aku menahan gejolak sebagai seorang wanita dan merindukan belaian suami, namun di tempat lain suamiku malah main gila dengan wanita lain, rasa marah bersiliweran di dadaku malam itu. Namun sebagai wanita dewasa dan berpendidikan, aku tidak akan melakukan hal yang bikin ribut dan pertengkaran.
Paginya di saat sarapan, kulihat suamiku terlihat amat gembira seakan tak terjadi suatu apapun jua. Baru setelah sarapan pagi itu, aku minta waktu suamiku untuk membicarakan sms yang aku baca tadi malam. Pagi itu dengan menumpang mobil suamiku, aku pun menuju tempat yang kami anggap sebagai tempat yang bagus untuk membicarakannya. Tempat yang kami pilih merupakan sebuah taman kota yang aku rasa cukup privasi bagi kami berdua, sebelumnya aku telah menitipkan anakku ke mpok Esih.
Dengan kekakuan yang aku perlihatkan saat itu, membuat suamiku menjadi bingung. Ia menduga-duga apa yang akan aku bicarakan bersamanya saat itu. Apalagi aku memilih tempat di taman kota ini untuk bicara empat mata padahal kata suamiku di rumah saja kan bisa. Aku lalu dengan perlahan bilang tentang sms tadi malam. Suamiku sempat bingung dan dengan kaget ia mencari Hpnya dan membuka sms di hpnya.
Ia kaget sekali melihat ada sms dari wanita itu. Dengan muka merah dan menahan rasa malu yang amat sangat ia minta maaf dan mengakui bahwa ia telah melakukan kekhilafan di luar kota. Dengan memohon mohon ia minta agar aku mau memaafkannya. Ia pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tentu saja tidak begitu saja percaya akan keterangannya itu.
Aku hanya memikirkan nasip putri kami satu satunya. Apalagi dia akan kehilangan keutuhan keluarganya. Hatiku amat hancur mendengar pengakuan suamiku itu. Dengan berbagai alasan dia bilang bahwa ia juga merasa dijebak oleh rekan bisnisnya di daerah.
Dengan memberinya sedikit ultimatum agar menjauhi perbuatannya itu, akhirnya dengan hati yang tidak karuan aku kembali menerima suamiku. Namun aku tidak sepenuhnya percaya padanya, ibarat gelas yang retak amat sulit rasanya untuk menerimanya kembali utuh. Perlu waktu untuk mengembalikan proses kembali sedia kala.
Kini aku kembali kepada kehidupanku. Aku tetap melayani suamiku seperti biasanya, namun jika sudah membayangkan saat dia bersetubuh denganku bayangan akan perbuatannya dengan wanita lain itu kembali muncul hingga membuatku hilang gairah dan padam. Kini aku hanya melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kepada suami, ibarat kata hanya tubuhku saja yang dinikmatinya, bukan lagi hatiku.
Aku seakan mati rasa, bayangan perselingkuhan suamiku membayangiku meski aku tidak melihatnya secara langsung. Keadaan rumah tanggaku semakin kacau semenjak kejadian suamiku itu. Suamiku pun tetap beraktifitas dan sering keluar kota namun kini keadaan semakin gak karuan.
Tampaknya wanita itu memang tidak memiliki rasa, sebab pernah aku telpon dan bilang padanya bahwa suamiku telah memiliki keluarga juga anak. Tampak dia tidak peduli dengan keadaan kami. Aku tidak kuasa mengambil keputusan, dengan berbagai pertimbangan dan mengingat masa depan anakku kelak.
Kini akupun sudah tak peduli lagi dengan suamiku. Yang jadi prioritas bagiku adalah bagaimana membesarkan anakku ini kelak, jika kemungkinan terburuk yaitu perceraian terjadi. Aku hanya saja sedih karena awalnya keluargaku amat bahagia dan saling sayang. Berbagai bayangan buruk berkecamuk di pikiranku. Apa nanti kata keluarga besarku jika aku bercerai dengan suamiku ini.
Tentunya aku yang akan mereka salahkan karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jujur saja bagiku tidaklah sulit mencari pengganti mas Dodo, apalagi aku juga punya pekerjaan juga usia yang masih muda dan masih cukup mampu menarik hati lawan jenis. Berpikir demikian aku tak sampai hati jika nantinya anakku akan memiliki ayah tiri. Aku semakin sedih memikirkannya.
Suamiku masih tetap seperti biasanya pulang dan tidur di rumahku. Kini keadaan seperti api dalam sekam dan tak mudah dipadamkan. Sampai saat ini aku masih melaksanakan kewajibanku sebagi istri kepada suamiku. Malam itu suamiku mencumbuiku, namun aku amat susah untuk mengikuti alunan gairah yang ia pancarkan. Tidak seperti dulunya aku merasakan kenikmatan di saat berduaan dengannya.
Namun aku paksakan diriku menerima perlakuannya ini. Hingga aku mendengar kehebohan yang cukup membuat kami menghentikan aktifitas ranjang ini. Suara kehebohan itu berada di halaman rumahku. Dengan mengenakan pakaian tidur kembali, aku dan suamiku buru buru keluar rumah. Di halaman sudah ada dua orang satpam yang menangkap basah seorang pemuda di dalam halaman rumahku.
Rupanya malam itu rumahku akan disatroni maling, namun berhasil digagalkan satpam. Dan satpam yang menangkap basah maling itu kebetulan bang Roji. Dengan wajah babak belur si maling itu digebukin hingga bonyok. Suamiku lalu mengikuti satpam yang membawa maling itu ke pos jaga.
Rupanya maling itu adalah pemuda dari kampung sebelah dan selama ini penghuni kompleks sering kemalingan karena ulahnya. Malam itu juga malingnya di serahkan ke polisi. Aku sedikit lega, berarti yang mengintip dan melakukan terror di rumahku adalah maling itu.
Aku pun kini semakin akrab dengan Mpok Esih jika sebelum berangkat dia sudah ada di rumahku. Jika aku libur ke kantor, kami sering ngobrol-ngobrol mengenai rumah tangga. Aku harus belajar banyak dari dia karena bagimanapun dia lebih tua dan lebih pengalaman dari aku. Begitu juga, kini aku tidak berprasangka lagi pada suami mpok Esih yaitu bang Roji.
Bang Roji pun kini sering membantuku ngangkatin barang dari mobilku jika aku pulang dari mal membawa belanja keperluan sehari hari. Aku pun sering memberinya sekedar uang rokok kadang juga aku titipin ke mpok Esih karena bang Roji sering menolak pemberianku. Suatu hari Mpok Esih, bicara padaku bahwa, ia ingin meminjam uang untuk Dp membeli sepeda motor.
Mpok Esih berjanji akan mengembalikannya dengan angsuran gajinya. Dengan niat untuk membantunya aku pinjami dia uang. Rupanya dia membeli motor dengan cara kredit karena setelah dinas bang Saroji bisa mengojek katanya. Masih menurut Mpok Esih suaminya agak malu jika langsung bicara padaku atau suamiku sebab keluargaku telah banyak membantunya.
Karena hubungan baikku dan keluarga Mpok Esih terjalin aku agak bisa melupakan kemelut keluargaku. Aku kini sudah bisa menganggap mereka adalah saudaraku karena tidak jarang aku minta bantuan kepada mereka jika aku ada masalah yang tak bisa kuselesaikan, misalnya ada kabel yang putus atau kadang aliran pompa yang rusak.
Di suatu malam saat suamiku sedang keluar kota, hujan turun dengan derasnya dan mobilku sempat menerobos genangan air itu. Beberapa saat menuju jalan ke rumahku, mendadak mobilku mogok. Aku kelabakan dan bingung mau menghubungi siapa malam itu apalagi malam itu di sekitar jalan itu hanya ada satu dua mobil yang lewat. Tiba tiba aku dapat ide dan aku lalu menelpon ke rumah karena ada mpok Esih.
Mister Sange – Kumpulan Cerita Dewasa Perselingkuhan
Untunglah dia masih di rumahku baru menidurkan anakku. Aku minta bantuannya agar memanggil suaminya untuk menjemputku tidak jauh dari kawasan perumahan ini. Mpok Esih menyanggupinya. Beberapa menit kemudian Bang Roji datang dengan sepeda motornya dengan mengenakan mantel hujan. Aku yang masih berdiam dalam mobil bilang, mobilku mogok kena air dan mungkin mesinnya terganggu. Lalu bang Roji berusaha membantuku dengan mendorong mobilku.
Naas mobilku tak mau hidup padahal sudah didorongnya agak jauh. Lalu bang Roji bilang padaku agar mobilku ditumpangi saja dulu di warung dekat situ. Sedang aku diantar sampai rumah malam itu karena hujan amat deras. Malam itu terpaksa menumpang dibonceng bang Saroji dengan sepeda motornya hujan-hujanan dan memakai mantel hujan yang agak besar hingga tubuhku bisa terhindar dari siraman air hujan.
Mau tak mau aku duduk terpaksa seperti laki laki sebab mana mungkin bisa duduk nyamping pake mantel seperti itu. Aku tak mempedulikannya lagi yang penting malam itu aku harus sampai rumah, walaupun saat itu aku duduknya merapat ke punggung bang Roji.
Aku yakin dia tak terlalu merasakan pergeseran antara dadaku dan punggungnya apalagi yang aku tahu ia serius memperhatikan jalanan yang masih tergenang air. Beberapa saat kemudian aku sampai di rumah dan dengan berlari aku masuk rumah. Busanaku saat itu basah sekali, aku langsung ke kamar mandi sementara mpok Esih yang masih berada di rumahku menemui suaminya dan memberikan handuk kecil untuk mengelap tubuh suaminya itu.
Sejak itu hubungan keluarga kami semakin erat, tidak jarang aku mengajak Mpok Esih dan bang Roji untuk jalan-jalan ke luar kota, mereka juga membawa seorang anaknya yang sering bermain dengan anakku. Saat itu aku membawanya ke pantai Anyer yang cukup indah. Setiba di pantai itu, aku menyewa dua buah bungalow untik kami. Keluarga bang Roji dan aku bersama anakku.
Mereka amat senang sekali aku ajak, bagi mereka entah kapan bisa bertamasya ke pantai. Di bibir pantai itu aku perhatikan mereka amat bahagia sekali berlarian bertiga dengan anaknya. Namun anakku minta ikut juga dengan mereka. Dan dengan senang hati, anakku berlarian di pinggir pantai dengan mereka.
Dari jauh aku perhatikan kegembiraan itu, dan jauh di lubuk hatiku ada rasa sedih, sebab di saat saat libur ini seharusnya anakku mendapat perhatian dari ayah kandungnya. Namun kini ayahnya sibuk dan di hari libur itu tak ada memberi kabar.
Aku tahu dia kembali jatuh ke pelukan wanita itu. Hati kecilku berkata demikian. Syukurlah kini aku tak lagi mempedulikan suamiku itu, yang ada dalam hatiku adalah gimana membuat buah hatiku bahagia. Hingga hari kedua pun kami akhirnya pulang dengan terpancarnya rona bahagia di wajah keluarga Bang Roji.
Dan hari demi hari berlalu, sebagai seorang wanita dewasa tak bisa kupungkiri aku membutuhkan seorang laki laki di kehidupanku apalagi di malam-malam saat masa suburku ini. Aku seakan melupakan segala kesalahan suamiku. Aku ingin mereguk kenikmatan ragawi bersamanya.
Di saat suamiku berada di rumah, aku sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan kewajibanku itu, namun heran kini malah saat bersama suami tiba-tiba saja gairahku yang sudah naik jadi hambar dan hilang. Aku berusaha untuk membangunkan kembali keinginanku itu namun tetap hilang tanpa bekas.
Kini yang ada di dalam diriku adalah rasa benci yang amat sangat kepada suamiku dan tanpa aku duga juga, suamiku pun mulai berkata kasar padaku. Aku terperanjat dan amat kecewa, selama kami menikah belum pernah rasanya suamiku berkata kasar seperti itu. Kejadian ini semakin sering terjadi di dalam kehidupan kamar kami. Kamipun lalu larut dengan kesibukan masing-masing dan seolah hidup dalam bara yang siap meledak.
Aku amat kasihan pada buah hatiku, sebab kini ia seakan kehilangan sosok seorang ayah. Padahal dalam usianya saat ini, ia amat membutuhkannya. Tak heran kadang ia ingin ikut ke rumah Mpok Esih untuk tidur di rumah mpok Esih. Apalagi di sana ada anak Mpok Esih yang sering mengajakknya main. Juga ia semakin akrab dengan Bang Roji. Ia terlihat dekat sekali dengan Bang Roji yang ia sebut dengan Pak De.
Begitu juga Bang Roji juga senang dengan putriku itu. Sering putriku di bawa jalan-jalan dulu saat ia menjemput Mpok Esih. Kadang ia menangis jika Mpok Esih dan Bang Roji akan pulang. Maka terpaksalah mpok Esih merayunya dulu hingga tidur lalu baru pulang. Begitu juga putriku sering minta bang Roji untuk, datang kerumah di siang hari. Ia amat terhibur dengan cara Bang Roji menghiburnya.
Aku juga mengkhawatirkan itu. Sebab sosok ayah pada dirinya akan hilang. Aku tak ingin putriku kehilangan sosok ayahnya, bagaimanapun masalah sedang membelit kami. Hingga terjadilah peristiwa yang membuatku semakin kacau dan bingung. Putriku dengan kemanjaannya selalu minta ditidurkan oleh Pak De Roji. Aku tak bisa melarangnya sebab jika tak dituruti maka dia akan terus menangis malam harinya.
Pernah aku tak mengabulkan permintaanya itu akibatnya aku yang malah kerepotan. Akhirnya aku membiarkan Bang Roji yang menidurkan putriku di kamarnya. Sedang Mpok Esih sudah pulang duluan sebab tugasnya hari itu sudah habis. Tidak jarang aku memanggilkan Bang Roji ke Pos jaganya untuk menidurkan putriku.
Putriku juga sudah tak lagi terpengaruh jika ayahnya ada di rumah. Tampaknya ayahnya juga tak lagi memperhatikannya. Kini ia merasa lebih diperhatikan Bang Roji yang biasa di panggil Pak De Roji. Dan permintaan putriku itu sering membuatku pusing. Di saat suamiku ke luar kota, putriku minta bang Roji untuk bobo di kamarnya. Permintaannya membuatku heran.
Dengan berbagai alasan aku bilang saja Pak De sedang kerja dan tak bisa menemaninya, tapi dia tetap tak percaya. dan malah malam hari itu aku terpaksa membawanya ke pos jaga sekedar membuktikan perkataanku. Barulah ia mau pulang setelah dibujuk Bang Roji. Kini Bang Roji jika tak bertugas maka ia pasti tidur di rumahku. Demi anakku permintaannya itu aku penuhi saja.
Untunglah istri Bang Roji mau mengerti akan tugas suaminya itu. Aku merasa asing jika malam-malam ada orang lain yang tidur di rumahku. Apapun alasannya itu adalah salah apalagi suamiku tak berada di rumah. Setiap malam hari aku selalu mengunci pintu kamarku, namun aku tetap kuatir akan terjadinya sesuatu di luar nalarku.
Keakraban putriku dengan Bang Roji semakin mengkhawatirkanku. Putriku malah minta agar aku juga ikut menidurkannya di kamarnya dengan mengikut sertakan pak De Rojinya. Aku tentu terkaget kaget atas permintaannya. Dengan berbagai alasan aku bilang bahwa itu gak mungkin apalagi tempat tidurnya sempit, aku memberi alasan apa jadinya jika ayahnya tahu aku tidur di ranjang anakku bersama bang Roji.
Putriku tetap dengan permintaanya. bagiku ini adalah dilemma, apa jadinya jika aku tidur seranjang dengan anak dan orang lain yang bukan apa-apaku. Aku tahu, lama-lama aku bisa saja terjebak ke dalam jurang nista. Lalu aku bicara pada bang Roji, bahwa jika putriku sudah tidur ia akan keluar kamar atau keluar rumah, sebab aku tak enak dan tak wajar dilihat orang lain.
Apalagi jika suamiku tahu kejadian ini. Bang Rojipun menyetujuinya. Setelah anakku tertidur ia pun lantas keluar kamar. Kadang ia langsung ke rumah istrinya, ya aku maklumi ia akan menggilir istri-istrinya. Terkadang aku yang keluar kamar jika anakku ditidurkan bang Roji dan setelah bang Roji keluar kamar barulah aku masuk.
Namun lama kelamaan kejadian ini semakin biasa terjadi, tak jarang bang Roji langsung tidur di rumahku dan subuhnya baru ia pulang. Namun malam itu, aku amat lelah sekali, hingga aku tak sadar bahwa bang Roji juga tidur di kamar anakku dan dengan berdempet-dempet karena sempitnya. Tubuh kami hanya di batasi oleh tubuh putriku. Namun karena kelalaianku juga aku tak sadar kadang tanganku bersentuhan dengan tangannya di saat anakku posisinya mulai tak beraturan.
Malam itu, aku tak sadar bahwa aku telah tidur seranjang dengan orang lain. Aku tak sadar entah kapan putriku pindah tidur arah bawah kasur yang cukup sempit itu. Kini di atas ranjang hanya aku dan bang Roji juga putriku dibagian kakiku. Aku seakan tak menyadari bahwa kaki bang Roji sudah menempel di betisku dan menggesek-gesekkan jari kakinya.
Aku merasa geli yang amat sangat dan malah menyambutnya, namun aku terbangun dan langsung duduk. Aku lalu memandang bang Roji, sepertinya ia pura pura tidur. Tak lama kemudian ia bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Dengan kaget aku baru mengetahui bahwa anakku sudah berada di lantai. Aku lalu membangunkannya dan mengendongnya ke atas ranjang.
Dengan sedikit mimik ketus aku minta bang Roji keluar kamar. Ia lalu keluar kamar. Aku lalu mengunci pintu kamar dari dalam. Mataku tak mau tidur memikirkan kejadian tadi. Untunglah tadi aku terbangun jika tidak entah apa yang akan terjadi malam itu. Semalaman aku memikirkan kejadian tadi kemudian rasa takut mendera aku.
Kini hampir tiap dua malam sekali Bang Roji selalu ada di rumahku. Ia hanya tak di rumahku jika suamiku ada di rumah. Anehnya putriku tidak minta agar bang Roji tidur di rumah jika ayahnya ada. Aku pun semakin memperhatikan pakaianku jika ia berada di kamarku. Tidak jarang aku selalu memakai pakaian hingga dua lapis, berjaga jaga terhadap segala kemungkinan.
Dan kini di atas ranjangku Bang Roji kembali menidurkan putriku. Setelah putriku tidur barulah dia keluar kamar dan rumah dan bertugas. Aku heran kini aku tak lagi menaruh rasa marah atau kuatir pada sosok Bang Roji. Padahal awalnya aku amat takut terhadap cara dia memandang tubuhku. Herannya lagi, kini aku malah semakin kagum kepadanya.
Aku merasa dia tidak akan bertindak aneh-aneh padaku. Apalagi di kamar ini hanya ada aku dan dia juga putriku. Jika ia bajingan bisa saja aku di paksanya untuk melakukan hal yang lebih tercela lagi, namun tidak ia lakukan. Aku heran atas sikapku ini.
Apakah ini sebagai perwujudan rasa kesepianku selama ini, aku tak tahu. Jujur saja di kantor aku sering diajak rekan rekan pria untuk makan malam atau kadang ngajak nonton. Namun aku tak menghiraukan ajakan mereka sebab aku tak mau menambah beban masalahku yang sudah rumit ini.
Kehidupan pernikahan aku dan Mas Dodo pun semakin tak karuan. Jangankan nafkah sebagai tanggung jawab suami pada istri, nafkah bathin saja dia sudah jarang dia beri. Mungkin ia telah terperdaya wanita simpanannya di daerah itu. Aku semakin ditelantarkan. Aku semakin membencinya jika sudah berada dan tidur di kamar. Anaknya saja sudah jarang digendong juga disayang-sayang apalagi aku.
Aku kasihan sama putriku satu-satunya ini. Ia kini hanya mencurahkan rasa memiliki ayah kepada Pak De Roji yang biasa membawanya jalan-jalan. Putriku amat membutuhkan figur ayah dimana ia bisa berlindung dan dimanja yang semuanya tidak didapatkannya dari ayah kandungnya. Aku amat kuatir dengan perkembangan putriku ini.
Kekuatiranku amat beralasan sebab dia semakin mau mengikuti kemana Bang Roji pergi dan selalu nangis minta ikut hingga Mpok Esih pun kelabakan jika kemauannya tak dituruti. Putriku selalu baru mau diam jika digendong bang Roji beberapa saat. Pernah suatu hari aku akan ke rumah orangtuaku dan membawa putriku. Di gerbang pos jaga, bang Roji sedang tugas.
Putriku nangis minta berhenti dan ingin digendong beberapa saat oleh Bang Roji. Terpaksalah aku menuruti keingannya ini. Aku menghentikan mobil tak jauh dari pos jaga. Bang Roji keluar posnya dan berjalan menuju mobilku. Aku membuka pintu samping dan putriku langsung menghambur ke pelukan bang Roji.
Tak lama memang lalu aku ambil putriku dari gendongan Bang Roji yang saat itu siap-siap akan memberikannya ke pangkuanku. Di saat aku menyambut tubuh putriku itu secara tak sengaja tangan bang Roji bersentuhan dengan buah dadaku beberapa saat.
Aku merasa sedikit jengah saat itu sehingga dengan buru buru aku tarik tubuh putriku dari pelukan bang Roji. Sempat ia minta maaf atas ketidaksengajaannya tadi. Aku hanya diam saja sambil berlalu dan terima kasih karena gendongannya pada putriku saat itu. Aku lalu masuk mobil dan berlalu .
Selama perjalanan aku masih terbayang kejadian barusan. Aku merasa malu saat disentuh tadi. Tangan kasar bang Roji seakan mampu merasakan kelembutan payudaraku. Syukurlah kejadian itu tak diketahui orang lain karena tidak ada siapa-siapa di samping mobilku yang parkir. Hari itu aku di rumah ibu tak lama karena akan berbelanja kebutuhan dapur ke mall dan lalu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku dibantu bang Roji menurunkan dan membawa barang bawaanku dari bagasi mobil. Ini adalah kebiasaannya membantu aku, sedangkan Mpok Esih tak masuk hari ini karena ia pulang ke kampungnya di Kuningan sana. Jadi terpaksa rumah aku kunci saja selama aku pergi. Sore itu Bang Roji baru selesai aplusan dengan rekannya dan seperti biasanya ia ada waktu untuk membawa putriku jalan-jalan keluar komplek.
Aku pun sibuk memasak makanan untuk malam di dapur. Aku agak senang karena putriku sudah dibawa bang Roji jalan-jalan, sebab akhir-akhir ini ia agak rewel. Setelah selesai masak dan aku mandi dan bersih bersih rumah. Akhir minggu ini aku gak ada acara keluar. Namun akhir minggu ini suamiku masih di luar kota dan juga tak ada beritanya. Lalu tiba-tiba terdengar suara putriku dan Bang Roji memasuki rumahku.
Mereka tertawa sambil membawa boneka kesukaan putriku. Setelah mengantar putriku ke rumah, bang Roji minta diri sebab ia akan pulang dan mandi katanya. Namun Putriku tetap tak mau lepas dari gendongannya walau dengan berbagai alasan Bang Roji juga berusaha melepaskan putriku. Akhirnya dia malah nangis dan akupun minta Bang Roji untuk menuruti kemauannya saja.
“Bang, mandi aja disini ya” kataku “kasihan Suci gak mau diam jika abang pergi.”
Akhirnya terpaksalah Bang Roji mandi di rumahku setelah aku sediakan handuk cadangan dan juga peralatan mandi yang selalu kusediakan. Malah Suci, anakku, minta bang Roji malam itu tidur di rumahku. Aku hanya diam saja tak bisa melarangnya lagi.
Malam itu, Bang Roji pun menidurkan putriku di kamarnya. Setelah putriku tidur barulah dia ingin pulang sebentar untuk memberikan uang dapur pada istri mudanya. Aku sempat bilang padanya agar malamnya ia balik lagi sebab aku kuatir jika nanti putriku bangun ia akan menanyakannya dan jika tak ketemu maka ia akan nangis lagi kataku.
Bang Roji akhirnya menyetujui permintaanku itu dan berjanji akan segera balik secepatnya. Beberapa jam kemudian cuaca berubah hujan deras diiringi angin yang amat kencang. Sempat jendelaku di hempas angin hingga aku tutup dan kunci dari dalam. Tak lama kemudian Bang Roji datang namun tidak dengan sepeda motornya. Ia sengaja memenuhi janjinya agar putriku tak rewel lagi.
Dengan memakai mantel hujan ia buka pagarku yang memang tak di kunci. Lalu ia kuncikan dari dalam. Sampai di pintu depan ia buka mantel hujannya dan membunyikan bel rumahku. Aku tahu itu bang Roji lalu membuka pintu dan lalu memberinya handuk karena percikan hujan membuatnya tubuhnya basah. Aku mencarikan pakaian bekas suamiku yang tidak terpakai lagi untuk mengganti bajunya yang basah itu, lalu memberikan kepadanya. Di kamar mandi ia ganti bajunya dengan kaos yang kuberikan itu.
Mr. Sange – Kumpulan Kisah Sex Dewasa Terlengkap
Tak lama kemudian ia keluar kamar mandi dengan mengenakan celana pendek yang telah ia sediakan. Bang Roji, bertanya padaku, bagaimana Suci putriku apa bangun tadinya, kujawab saja putriku sangat nyenyak tidurnya. Mungkin sudah capai saat dibawa keliling sore tadi jelasku. Dia membuka pintu kamar putriku dan seolah itu anak kandungnya ia ciumi pipi putriku dengan penuh kasih sayang.
Aku terenyuh melihatnya, ayah kandungnya saja sudah tak pernah menciumi putrinya. Aku kagum dan salut akan perhatian Bang Roji pada putri semata wayangku ini padahal kami bukanlah siapa siapanya namun perhatiannya pada keluargaku membuatku semakin kagum dan menilainya amat baik.
Malam itupun dia berjalan ke arah ruang tengah untuk menonton acara televisi, sementara aku ke dapur membuatkannya secangkir kopi juga membawakannya makanan kecil. Aku tak lupa menyilahkannya untuk duduk saja di sofa itu dan tak usah terlalu sungkan. Aku lalu menaruh kopi dan makanan itu di meja kecil dekat televisi. Sedang aku lalu mencari majalah yang akan aku baca di kamarku.
Sebab aku ingin ke kamar, apalagi aku kurang merasa nyaman jika di ruang tengah ini bersama dia. Apalagi hari telah beranjak malam. Sambil berlalu aku minta jika mau tidur Bang Roji jangan lupa mematikan TV sebab aku akan masuk kamar. Dia menyanggupinya. Hawa dingin malam itu membuatku semakin menjadi ingin cepat-cepat masuk kamar.
Baru saja aku masuk kamar dan ingin baca majalah, tiba-tiba lampu padam. Aku keluar kamar dan syukurlah lampu emergency langsung nyala. Begitu juga di kamar anakku, jadi dia tak akan terbangun karena lampu mati. Aku lihat Bang Roji, masih sibuk mematikan TV lalu mengecek kontak listrik yang berada di luar rumah, siapa tahu ada yang koslet katanya.
Rupanya padamnya lampu karena ada gangguan angin dan dimatikan PLN sebab lampu jalan juga padam. Dia lantas masuk ke dalam rumah. Aku pun bilang agar dia tidur di kamar putriku saja apalagi di kamar itu tersedia karpet tebal di lantai yang biasa untuk bermain putriku
“Itu bisa dijadikin alas tidur Bang.” kataku.
Dia lalu masuk kamar putriku dan membentangkan karpet itu di lantai. Akupun membantunya mengambilkan karpet. Tanpa sadar aku terpeleset di dalam kamar putriku itu, kakiku terantuk kayu tempat tidur karena cahaya yang kurang terang. Aku meringis kesakitan, Bang Roji mendengar ringisan kesakitanku. Dia lalu berusaha memapah aku untuk duduk di pinggiran tempat tidur putriku.
Lalu dia menanyakan letak balsam, aku lalu menunjuk ke arah kotak obat yang terletak di ruang makan dekat dinding lemari. Beberapa saat Bang Roji keluar mengambil balsam untuk kakiku ini. Aku masih meringis kesakitan di mata kakiku. Tak lama kemudian kembali ke kamar dan berusaha memijiti mata kakiku yang terasa sakit.
Dengan mengoleskan balsam ke tempat yang sakit dia juga memijitinya. Aku merasa nyaman dipijit olehnya. Itulah pertama kali aku merasakan kulitku disentuh laki-laki lain. Lambat laun rasa sakit mulai berkurang dan terasa nyaman. Dengan intens ia terus memijiti telapak kakiku dan dengan sekali hentak aku terkejut karena sakit lalu rasa sakit itu mulai berkurang. Bang Roji memandangiku dari bawah.
“Bagaimana rasanya Bu?” tanyanya.
“Agak enakkan bang” jawabku singkat.
Aku merasakan kini pijitannya mulai naik ke arah betisku, saat itu aku masih duduk di atas pinggiran ranjang putriku dan kulihat dia masih nyenyak tidurnya. Ia seakan tak terganggu oleh suara hujan yang masih deras dan angin kencang diluar rumah. Aku mulai merasakan geli di sekitar betisku.
Gerakan pijatannya amat membuatku merasakan kehangatan tangan Bang Roji dan syukurlah saat itu aku mengenakan celana panjang piyamaku, jadi betisku yang putih ini masih terlindung dari pandangan matanya. Beberapa saat setelah merasakan enakkan aku pun turun ke lantai yang telah dialas dengan karpet tebal yang akan ditiduri Bang Roji.
Aku bersandar di pinggiran kayu tempat tidur putriku. Aku amat berterima kasih pada Bang Roji atas bantuannya itu. Akupun sempat memujinya yang pintar mijat, dengan merendah ia bilang itu hanya kebetulan. Aku sempat kurang nyaman saat dia menyebut aku Bu,padahal dia lebih tua dariku.
“Bang, jangan panggil aku Bu, panggil aja aku dik atau nama aja” kataku, “aku gak enak…apalagi abang lebih tua dariku”
“Baiklah jika begitu dik Risa” jawabnya lagi, “O ya, dik Risa, koq mas Dodo jarang kelihatan sekarang ya?” tanyanya.
Aku sempat terkejut dia menanyakan tentang suamiku. Lalu aku jawab saja bahwa suamiku kini ditempatkan di pulau luar jawa, jadi dia lebih banyak di sana dari pada di sini terangku.
“Koq dik Risa gak ikut ke sana juga, kan kasian Suci.” katanya.
“Yah, begitulah Bang, aku kan tidak bisa pindah kerja juga, apalagi kini aku telah lama kerja di tempat yang sekarang, jadi sayang jika harus berhenti. ” jawabku menutupi kemelut dalam rumah tanggaku.
Kami lalu berbincang mengenai beberapa hal yang memang jarang aku dengar dari mulut bang Roji. Malam itu aku berkempatan bicara banyak dengannya juga tentang masa lalu dia dan kedua istrinya. Kami berbincang hingga malam semakin larut, namun anehnya aku tak merasakan kantuk.
Akupun tak terlalu kuatir jika besok bangun kesiangan, apalagi sabtu dan minggu aku libur di kantor. Masih di kamar putriku aku seakan menemukan lawan bicara yang enak diajak bicara. Meskipun aku tahu kadang Bang Roji amat polos dalam pembicaraan namun aku tahu dia cukup berpengalaman dalam hal pergaulan bermasyarakat.
Kadang aku senyum-senyum mendengar dia bicara mengenai sifat dari kedua istrinya itu. Dari situ aku tahu ia bukanlah seorang satpam sembarangan. Dia juga memiliki segudang ilmu kanuragan juga silat yang dituntut dari mudanya. Dan merasa pembicaraan semakin hangat aku pun berusaha keluar kamar anakku untuk mengambil air minum.
Namun baru beberapa gerakan mau berdiri tiba tiba aku tak tahan, kakiku seakan ngilu. Aku tak sanggup berjalan ke luar, syukurlah aku tak sampai jatuh karena keburu di sambut Bang Roji ke pangkuannya.
Aku dipapahnya duduk kembali di tempat semula. Dia bilang aku jangan berjalan dulu, biar dia yang ambil minuman katanya. Aku diam saja dan diapun keluar kamar mengambil yang aku maksud tadi. Kemudian dia kembali ke kamar dan membawa air minum ke kamar. Lalu aku disuruhnya berbaring aja agar dipijat lagi. Aku mengikuti saja permintaannya itu. Bang Roji lalu mengambil bantal yang ada di atas ranjang putriku. Lalu diletakkannya di atas karpet dan aku disuruh rebahan agar gampang dipijat .
Selama dipijat aku merasakan amat rileks meskipun saat itu aku bersama pria lain. Sambil memijat kami selalu berbincang sampai ke hal masalah rumah tangga. Aku merasakan kenikmatan pijatannya telah membuatku kegelian dan merasa tercambuk gairah. Syukurlah saat itu bang Roji tak melihat perubahan di wajahku. Jujur saja saat itu aku mulai terangsang, kaki celana panjangku sudah naik kearah lutut.
Bang Roji menghentikan pijatannya,dia merasa aku sudah tak sakit lagi. Aku di suruh untuk menggerakkan kakiku itu. Syukurlah kembali baik dan gak terasa lagi sakitnya. Bang Roji lalu bilang dia akan keluar saja sebab malam sudah larut katanya. Aku lalu berdiri dan minta dia tidur di kamar ini saja, biar aku yang keluar kamar kataku. Bang Roji pun menuruti permintaanku. Aku kembali bangun dari rebahan dan duduk, Bang Roji pun kembali duduk di atas karpet itu.
Aku merasa malam semakin dingin, lalu berdiri melihat putriku. Kututupi tubuhnya dengan selimut tebal, sebab aku kuatir ia akan kedinginan malam itu. Lalu aku kembali duduk di lantai beralas karpet itu dan ngobrol lagi dengan Bang Roji, sepertinya dia belum ngantuk, aku juga. Kami ngobrol masalah Mpok Esih juga istri mudanya kadang diselinggi obrolan masalah sex dia dengan kedua istrinya.
Aku mendengar dengan penuh perhatian. Diam-diam dalam hatiku merasa iri akan perhatian dia pada istrinya juga rasa tanggung jawabnya pada keluarganya. Amat berbeda sekali dengan yang dikatakan Mpok Esih selama ini. Sebagai laki laki aku rasa ia amat bertanggung jawab, tidak seperti suamiku saat ini yang melalaikan keluarga.
Tanpa aku sadari aku menaruh simpati padanya, meskipun dia adalah seorang satpam dan tukang ojek serabutan. Namun karena tanggung jawabnya pada keluarga ia bisa menghidupi kedua keluarganya. Saat itu aku merasa amat kecil didepannya. Herannya aku semakin tak kuasa mendengar obrolannya yang amat menyentuh hatiku.
Karena merasa capai dengan posisi duduk, akupun merebahkan kepala di bantal kecil. Sambil rebahan aku mendengarkan kisah juga tentang kenakalannya dimasa lalu. Aku antusias mendengarnya meski mulai dihinggapi rasa dingin yang menusuk tulang, padahal aku sudah memakai celana panjang kimonoku.
Bang Roji melihat aku yang kedinginan menyarankan aku untuk memakai selimut atau sweater. Aku hanya mengambil selimut dari lemari kamar anakku dua lembar. yang satu buat Bang Roji dan yang satunya aku pakai.
Kututupi tubuhku dengan selimut, namun Bang Roji belum akan tidur tampaknya. Aku merasa saat itu seakan bisa menerima dia dan juga perhatiannya pada kami selama ini. Ia tampaknya tulus memberikan bantuan tenaga dan juga mau menemani putriku yang tanpa pamrih itu. Heran aku kini koq semakin merasa dia adalah sosok laki laki yang aku rasa bisa memberikan perlindungan padaku, pikiran-pikiran itu muncul tiba tiba.
Apakah aku telah kehilangan akal sehatku dengan menempatkan seorang pria yang dulunya amat aku takuti dan curigai karena perbuatannya dan juga kelakuannya yang amat tidak aku sukai sebagai sosok laki laki pelindung.
Aku semakin kehilangan akal sehatku dan menilai nilai diri Bang Roji dengan penilaian yang amat plus dan tak menghiraukan dari mana dia dan bagaimananya sifat dan latar belakangnya selama ini. Aku kini telah mengenyampingkan peran dan sosok suamiku yang notabene masih sebagai kepala keluarga dan suamiku yang syah.
Di saat itulah aku dikejutkan oleh panggilan Bang Roji yang tiba-tiba mengagetkan aku yang sedang melamun. Aku tersadar bahwa telah melamunkan hal yang gak aku sadari itu. Aku lalu hanya senyum dan bilang tadi aku hanya membayangkan apa yang Bang Roji ucapkan. Ia pun lalu bilang jika aku ngantuk ya tidur aja ke kamar sebab ia masih belum ngantuk katanya.
Aku merasa malu saat diingatkan di saat lamunanku terbang kemana-mana. Bang Roji pun bilang, apa aku punya masalah, sebab dari tadi saat dia ngobrol aku sepertinya menerawang dan tak nyambung. Dengan muka agak merah, aku mengangguk dan membenarkan tebakannya itu. Bang Roji pun terdiam dan hanya memandangku saja, matanya tajam memandang bola mataku.
Aku hanya menundukkan wajahku, tak tahan ditatap seperti itu. Ia lalu berkata, jika aku tak keberatan ya boleh diutarakan aja katanya lagi. Lalu ia bertanya apakah selama ini ia dan istrinya sering membuatku merasa terganggu. Aku jawab bahwa gak ada hubungannya dengan keberadaan Bang Roji disini. Lalu ia menebak lagi, apakah suamiku tak suka jika ia dan istrinya sering membantuku?
Aku hanya menggelengkan kepalaku, pertanda tebakannya tak benar. Bang Roji lalu bilang, jika ia menganggu ketenangan aku, ya dia biar keluar kamar saja katanya sambil berdiri. Aku lalu menahan tangannya agar tidak keluar kamar. Aku heran kenapa saat itu langsung menahan tangannya untuk berdiri padahal dia bukanlah siapa siapa aku.
Merasa aku tak menghendaki dia keluar kamar, Bang Roji pun mengurungkan niatnya. Dia lalu kembali duduk di sampingku. Ketika itu tangannya masih berada di genggamanku. Herannya aku tak juga melepaskan tangan Bang Roji. Kini kami duduk di lantai dengan berdampingan. Dengan suara yang agak serak aku minta Bang Roji menemani aku sambil ngobrol meski aku tak peduli lagi aku bersama siapa malam itu.
Apalagi aku lihat putriku masih terbaring nyenyak dalam tidurnya, ia tak akan tahu bagaimana problema yang aku rasakan saat ini. Apalagi untuk anak seusia itu yang masih kecil. Di saat itu sebenarnya aku ingin ada yang menemaniku dan mendengarkan keluh kesahku yang kini mendera, aku merasakan Bang Roji cocok untuk diajak ngobrol paling kurang sebagai penampung unek-unekku.
Akupun lalu menumpahkan segala beban yang ada di hatiku selama ini dan tak lagi memandang dia siapa. Mulai dari saat aku menempati rumah ini hingga masalah rumah tanggaku yang dilanda dilema. Dia juga semakin antusias mendengar penuturan aku. Bang Roji pun semakin merapatkan tubuhnya kepadaku yang pada saat itu aku juga butuh tempat merebahkan kepalaku.
Dalam keadaan labil saat itu,aku mandah saja di dada bidangnya. Perlahan aku seolah nyaman rebah di dadanya, diapun berusaha membuatku rileks. Aku mulai merasakan rasa damai dan tentram saat itu. Bang Roji lalu berusaha membelai-belai rambutku. Ada rasa hangat yang aku rasakan di saat itu. Belaiannya di kepalaku seakan mampu menghilangkan kegundahanku selama ini.
Aku sendiri sebenarnya amat bingung saat itu. Apakah yang terjadi sebenarnya didalam diriku. Aku pun masih memegang tangan kiri Bang Roji dan Bang Roji masih membelai rambutku juga samping pipiku. Aku merasakan semua masalahku selama ini hilang saat itu. Kini aku memasrahan diri pada Bang Roji.
Aku seolah tak memiliki pilihan lain lagi untuk keluar dari masalah ini. Aku tahu ini amat bertentangan dengan norma kepatutan dan norma di masyarakat, apalagi dia adalah seorang satpam yang tidak berhak ikut dalam prolema keluargaku.
Apa sih yang dapat aku harapkan dari dia? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku. Namun kemudian hilang begitu saja, seolah aku amat membutuhkannya, tidak saja aku butuh teman curhat juga butuh hal lain yang tidak aku dapatkan dari suamiku. Namun sebagai wanita, aku masih dibatasi oleh rasa angkuh yang tidak akan meminta sesuatu itu padanya.
Sebagai laki-laki dewasa dan berpengalaman ia seolah tahu apa yang aku butuhkan. Tanpa bicara ia mulai membelai belai pipiku yang halus dan memberikan hawa nafasnya ke tengkukku. Rasa geli dan hangat mulai menjalariku. Aku semakin membiarkannya melakukan itu dan suatu kesempatan dengan keberaniannya ia pun mencium bibirku.
Aku terkejut dan melepaskan kulumannya pada bibirku. Kulumannya terlepas, namun anehnya aku tidak berusaha menjauh dari pelukannya. Aku kemudian melengoskan wajahku ke arah lain padahal aku melakukan itu semua adalah untuk menghindarkan kesan aku amat butuh saat itu. Tampak Bang Roji bukanlah laki laki kemaren sore yang bisa aku bikin semaunya. Tanpa disuruh dia lalu meraih wajahku dan kembali mengulum bibirku beberapa saat.
“Sudah ahhh Bang, aku gak bisa bernafas nih.” kataku berusaha melepaskan kulumannya.
Namun apalah dayaku untuk menahan setiap tindakannya. Dia lalu melepaskan kulumannya dari bibirku, namun sebelah tangannya sudah memasuki blus piyamaku. photomemek.com Dengan perlahan dan pasti, jari-jarinya memasuki belahan dadaku dan berhenti di putting susuku. Rasa geli juga nafsu mulai melandaku.
Aku tak kuat diperlakukan begitu olehnya. Tanganku berusaha menahan gerakan jari-jarinya yang sudah berada di dalam bhku saat itu, bagaimanapun aku merasa malu. Dengan sebisaku aku berusaha menahan setiap gerakan jari-jarinya di permukaan putting susuku. Sekuat aku menahannya sekuat itu pula ia berusaha memilinnya hingga usahaku menahannya semakin melemah karena deraan nafsu yang sudah mulai mempengaruhi setiap sendi tubuhku.
Diperlakukan seperti itu, aku semakin terjerat oleh percikan birahi yang di kobarkan Bang Roji. Perlahan dan pasti ia berhasil melepas atasan piyama tidurku. Dan kini hanya tinggal bh yang menutupi sebagian kecil dadaku. Aku semakin terjebak ke jurang gairah yang mulai menampakkan wujudnya.
Aku pun kini seolah ikut menerima perlakuannya saat itu. Rasa hangat yang dipancarkan jari jari Bang Roji di permukaan kulitku sanggup membuatku merelakan dia melepas pengait bh yang aku kenakan saat itu. Lalu bibir Bang Roji mulai merayap dan menggigit kecil putting susuku secara perlahan dan mampu membuatku seolah kembali menjadi seorang wanita dewasa yang sempurna.
Kulit dadaku seakan rela menerima semua perlakuannya saat itu. Berulang ulang ia ekspos kedua bukit dadaku dengan intensitas yang meninggi. Aku serasa diperlakukan utuh sebagai wanita. Dengan kedua tanganku aku raih kepala Bang Roji, seakan tak rela ia menyudahi tindakannya itu. Saat ini aku tak peduli lagi siapa Bang Roji dan apa statusnya, yang penting saat ini bagiku, bagaimana dahagaku terpuaskan. Merasa aku sudah menerima semua perlakuannya, Bang Roji membisikkan sesuatu padaku.
“Dik…Rissa, di kamar dik Rissa aja kita lanjutkan…gimana? Kasian nanti Suci bisa bangun.” terangnya dengan suara yang menahan sesuatu.
Ia seakan yakin aku akan mau melakukan hubungan yang lebih lagi denganku malam itu. Aku juga sadar Bang Roji, ingin melakukannya di kamarku agar anakku tidak terbagun dan tak ingin nantinya anakku mengerti tentang hubungan yang kami lakukan. Saat ia meminta pindah ke kamarku, aku terbayang sedikit tentang kejadian yang akan terjadi.
Apalagi status kami yang cukup berbeda itu. Masih ada harapan bagiku untuk membatalkan keinginan Bang Roji saat itu. Sebelum aku bangun dari rebahan di lantai bersama Bang Roji, aku kembali memunguti bh dan atasan piyamaku. Aku langsung saja mengenakan atasan piyamaku tanpa mengenakan kembali bh yang telah terlepas dari tubuhku oleh Bang Roji tadi. Bra itu tetap aku pegang dan aku pun berdiri, lalu membuka daun pintu yang masih tertutup.
Akupun keluar dari kamar anakku dan berjalan ke arah kamarku. Bang Roji saat itu mengikutiku ke kamar. Kudorong pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Sesampai dalam kamar aku duduk di atas ranjangku. Bang Roji lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia lalu duduk di sampingku, diraihnya tanganku dan dibawanya ke bibirnya dan diciuminya.
Melihat tingkahnya itu, aku seakan terenyuh akan sikapnya yang terlihat sabar. Aku yakin tanpa aku mintapun malam ini ia akan melakukan hal yang belum pernah aku lakukan selain dengan suamiku. Aku tahu ini amat bertentangan dengan norma agama dan adat ketimuran yang kuanut, apalagi aku termasuk wanita Jawa yang amat menjunjung tinggi tata krama, namun saat ini seakan hilang semua.
Perbuatan dan penyelewengan suamiku seakan mencambuk diriku untuk melakukan pembalasan, meski saat itu aku menyadari tidaklah benar tindakanku saat ini. Bang Roji menyadari juga perbuatannya saat itu menyalahi hukum dan amat tercela, dengan suara berat seolah menahan sesuatu dia masih sempat bertanya padaku.
“Dik Rissa rela, akan perbuatan abang ini?” sambil menatap bola mataku dalam dalam.
Aku pun memandangnya dengan tatapan yang tajam seolah menantang dia, namun hanya beberapa saat. Aku kembali menundukkan mukaku ada rasa malu jika aku memintanya melakukan itu. Bang Roji adalah laki laki dewasa yang sudah amat banyak pengalaman seolah tahu apa yang harus ia perbuat.
Sikap diamku saat itu seakan persetujuan untuk perbuatannya selanjutnya. Sambil meraih kedua tanganku lalu tubuhku dibawanya ke pelukannya. Kini tubuh kami amat dekat, meski saat itu kami masih mengenakan pakaian. Namun karena aku tak memakai bra saat itu, seolah mampu membuatnya semakin bernafsu padaku.
Ketika aku dalam pelukannya, aku merasakan ada rasa damai dan hangat yang sudah lama tidak aku rasakan lagi. Ada rasa nyaman dalam pelukan Bang Roji yang bidang dan berotot itu, meski aku akui ada juga bau yang kurang sedap aku rasakan saat itu. Namun semua rasa yang ada dalam diriku seolah mampu mengalahkan bau-bauan yang kurang sedap itu.
Aku semakin tenggelam dalam sosok tubuh Bang Roji, iapun lalu mengulum bibirku. Aku berusaha semampuku untuk menerima kulumannya, namun kembali bau kurang sedap dari mulutnya karena rokok dan juga makanannya membuatku seakan hilang gairah.
Masih dalam pelukan ketat Bang Roji, akupun kembali terpaksa menerima kuluman panasnya di bibirku. Rasa geli karena kumisnya yang bergesekan dengan bibirku mampu membuatku terlena. Apalagi jelajahan lidahnya di dalam rongga mulutku mampu membuatku susah untuk bernafas.
Dipancing seperti itu, aku mau tidak mau membalas kuluman Bang Roji, hingga membuat lidah kami seakan saling berkait dan ludah kami bercampur satu sama lainnya. Dengan lincah tangan Bang Rojipun melepas kancing atasan piyamaku hingga terlepas ke lantai.
Jari-jarinya itu pun memilin dan memutar putting dadaku hingga aku semakin terlonjak nafsuku. Puas memainkan lidahnya di bibirku mulutnya turun melata di kulit dadaku. Kembali aku merasakan geli yang amat sangat diperlakukan begitu. Aku hanya bisa meraih kepalanya yang saat itu berada di belahan dadaku. Kalung yang aku gunakan seolah mengganggu aktifitas mulutnya di dadaku.
Dengan tangan kirinya ia singkirkan kalungku ke arah tengkukku lalu kembali ia menyedot bukit dadaku bergantian kiri kanan. Berbagai rasa kembali menderaku. Aku masih meraih kepalanya seakan tak ingin cepat berlalu. Aku merasakan rasa basah di organ vitalku saat itu. Beberapa lama bang Roji menggigit-gigit dadaku dengan lembut dan meninggalkan tanda di dadaku yang putih.
Aku hanya mampu memicingkan mataku dan menuruti perbuatan Bang Roji. Tiba tiba ia menghentikan aktifitasnya pada dadaku. Aku pun membuka mataku, ingin tahu apa yang menyebabkan ia menghentikan perbuatannya itu.
Jujur saja aku merasa kecewa karena ia menghentikannya, namun aku diamkan saja. Rupanya Bang Roji sedang melepaskan kaos yang ia kenakan dan tampak dadanya yang bidang, juga berbulu lebat. Di bahunya terlihat sebuah tatto yang aku kurang mengerti gambarnya. Setelah kaos yang ia kenakan lepas dari tubuhnya ia pun langsung melepas celana panjangnya.
Kini ia hanya mengenakan celana dalam yang sudah terlihat menguning dan ada lubang disana sini. Namun aku juga sempat melihat tonjolan besar di balik celana dalamnya itu. Dengan masih memakai celana dalam, bang Roji berjalan menuju aku. Dia meraih daguku dan kembali mengulum bibirku beberapa saat.
Kemudian aku pun dibaringkannya di atas ranjangku. Saat aku terbaring menanti Bang Roji, dia terlebih dahulu mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu meja di samping ranjangku. Dengan hanya diterangngi lampu tidur, ia menaiki ranjang tempat aku tergolek pasrah. Aku tergolek lemah di ranjang dengan bertelanjang dada dan masih mengenakan celana pendek piyamaku.
Bang Roji menuju ke arah kakiku, ia berusaha melepaskan celana piyamaku. Tidaklah susah melakukan hal itu sebab aku sudah amat pasrah padanya. Celana yang aku kenakan dilepas dan diletakkan di lantai samping ranjangku. Kini organ vitalku hanya tertutup cd putih berbahan katun. Aku berusaha menyilangkan kakiku agar basah di belahan kemaluanku tak terlihat Bang Roji.
Bang Roji tidak melepaskan cd yang aku kenakan itu. Ia membuka kedua kakiku. Lalu salah satu tangannya masuk ke dalam kain tipis penutup organ vitalku ini. Aku terkaget tak menduga ia akan memegang kemaluanku. Tanganku langsung menahan tangannya. Namun ia amat kuat dan tak berhasil kucegah jari-jarinya mulai masuk ke dalam jepitan kemaluanku. Aku merasakan seperti disengat aliran listrik yang sanggup membuatku kegelian dan seakan meledak.
Bang Roji terus mengekspos daging kecil di belahan kemaluanku membuatku semakin tak mampu menguasai diri. Hingga akhirnya aku orgasme dan menjerit histeris oleh perbuatan tangan Bang Roji. Lelehan air cintaku seakan membasahi jari bang Roji. Bang Roji lalu menarik dua jarinya yang basah oleh air cintaku. Ia membawa kedua jarinya yang basah itu ke bibirnya dan menjilatnya.
Tanpa ragu ia mencicipi air cintaku. Aku tak sanggup melihat perbuatannya saat itu. Tubuhku semakin lemah karena orgasme yang kualami setelah beberapa lama tidak lagi aku dapatkan. Aku tergolek pasrah dengan kedua kaki terbuka. Kini Bang Roji berusaha melepas cdku yang basah oleh cairan orgasme. Tak sulit ia melepas cdku saat itu karena aku sudah amat lemah dan aku pun sudah tak merasa malu karena kini aku sudah telanjang bulat di depan orang lain selain suamiku.
Kepasrahan aku membuatku tak merasakan rasa malu ditelanjangi saat itu. Aku tak merasakan lagi dinginnya malam yang diguyur hujan deras saat itu, yang aku rasakan hanya rasa puas dan terbang ke awang-awang. Tubuhku yang basah oleh keringatku pun tak lagi aku hiraukan juga jejak cupangan di sekujur dadaku.
Melihat aku yang masih telentang menikmati orgasme yang aku dapatkan Bang Roji pun seolah mengerti aku butuh waktu beberapa saat untuk melepaskan rasa yang kini menderaku. Tak membutuhkan waktu lama untuk kembali ke keadaan semula. Aku sadar bahwa Bang Roji juga ingin kupuaskan namun yang pasti dia ingin menggauli aku seperti hubungan suami istri. Aku merasa bimbang saat itu.
Apakah aku akan membiarkannya memasukiku atau menghentikannya. Aku tak punya keberanian saat itu. Aku tahu yang ia ingini seperti umumnya laki-laki ingin hubungan itu bukan hanya kepuasan sepihak seperti yang aku dapatkan barusan. Bang Roji memandang aku dan dengan tatapan matanya, ia seakan minta aku rela untuk disetubuhinya. Aku pura-pura tak mengerti apa yang dia ingini itu.
Melihat kondisi aku yang sudah seperti sedia kala, Bang Roji melangkah ke arahku. Ia berusaha kembali memancing nafsuku dengan menciumi balik telingaku hingga tengkuk aku yang masih tersisa butir-butir keringat. Aku kembali merasakan geli dan gairah yang kembali muncul.
Dengan penuh kesabaran Bang Roji tanpa merasa jijik sekalipun, menjilati kulitku, mulai dari leher, dada, perut hingga belahan kemaluanku. Dia juga menjilati kedua kakiku. Aku merasa seorang ratu yang diperlakukan seperti itu. Tanpa merasa jijik sedikitpun ia jilati semua permukaan kulitku yang masih basah oleh keringatku.
Punggungku dan belahan pinggulku tak luput dari jelajahan lidahnya. Aku semakin merasa salut dan kasihan atas perlakuannya itu padaku. Aku tak akan mungkin menolak kehendak bang Roji saat itu. Ia memperlakukan aku lebih dari apa yang selama ini aku bayangkan. Ini juga mungkin rupanya yang membuat Mpok Esih dan istri mudanya tak mau dipisah oleh bang Roji.
Dengan telaten Bang Roji seperti memandikan aku dengan lidahnya. Tak terlihat sedikitpun rasa lelah dan bosannya saat itu. Diperlakuakn seperti itu seakan mampu memacu gairahku saat itu. Dan Bang Roji, lalu meraih kedua belah buah dadaku dan membelainya dengan lembut. Padahal saat itu,aku sudah basah sekali di liang kemaluanku. Perlahan dan pasti pilinan dan rabaan di dadaku mampu membuatku kembali bergairah. Aku hanya mampu menghentakan kakiku di ranjang sehingga spreynya semakin kusut.
Sedang kedua tanganku hanya memegang rambut Bang Roji yang masih asik di atas perutku. Ia pun terus turun menuju ke kemaluanku. Kedua kakiku ia sibakkan dan membuka. Kini tubuh kekar hitam Bang Roji sudah berada di antara kedua kakiku. Kepalanya singgah di lepitan kemaluanku, sementara lidahnya terus masuk ke liangku.
Seolah memancing lidah Bang Roji terus merangsek masuk dan memasuki celah organ intimku. Aku hanya bisa memejamkan mata dan tak mampu membukanya. Aku semakin berada di titik paling labil saat itu. Aku berusaha menahan rasa geli yang kini semakin membuatku kepayahan. Bang Roji lalu melepaskan lidahnya dari liangku.
Aku merasa letupan birahi yang akan segera meledak padam kembali. Bang Roji seakan tahu kelemahan aku. Aku tak tahu harus berbuat apa, apalagi rasa letupan itu tadinya hampir meledak. Namun Bang Roji pun bergerak bangun dan mengangkat kedua kaki dan menekuk lututku. Tampak saat itu Bang roji akan melakukan penetrasi ke dalam kemaluanku.
Bang Roji berdiri dan melepaskan penutup kemaluannya yang tadi belum dibukanya. Setelah dibukanya penutup kemaluannya itu aku terkaget. Kemaluan bang Roji membuatku kaget dan takut sekali. Ukurannya cukup panjang dan besar. Aku serasa tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Aku bergidik karena membayangkan apakah au akan sanggup menerima benda besar dan panjang itu.
Padahal saat itu, kemaluan Bang Roji belumlah terlalu ereksi. Apalagi jika sudah dalam ukuran maksimal. Berbagai bayangan ketakutan berkecamuk di dalam pikiranku. Aku berusaha menolakkan tubuhnya agar menjauh dari tubuhku padahal saat itu ia sudah siap siap untuk melakukan perangsangan kembali kepadaku.
Ia terlihat heran, merasa ada penolakan dari aku saat itu, bang Rojipun menghentikan aktifitasnya, namun belum bergerak dari kedua kakiku. Ia bertanya padaku dengan suara yang agak gugup.
“Adddaa…apa dik Rissa menolak Abangg?”
“Bang…apa gak bisa kita undur saja? Sebab…aku takut? Punya abang…cukup.. panjang dan besar.” kataku gugup tanpa melihat ke arahnya karena baru saja didera rasa kaget dan takut saat itu. .
Bang Roji mengangguk-angguk saja perkataanku itu. Ia sadar miliknya cukup besar dan ia pun tahu aku akan cukup kaget menerima benda miliknya itu.
Bang Roji tampaknya tidak mau memaksaku untuk menerimanya saat itu. Ia cukup mengerti dengan alasan penolakan aku. Ia amat bisa menjaga perasaanku saat itu. Memang saat itu aku cukup egois dan tak berperasaan padanya. Namun rasa takut dan ngeri membuatku menolaknya.
Bang Roji pun tak lagi memaksakan kemauannya. Masih dalam posisi di antara kedua kakiku, ia lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Ia kembali mengulum bibirku berulang ulang. Sementara keringatku kembali bercucuran di dahi dan dadaku. Sebagai perwujudan terima kasih aku kepadanya yang tidak memaksaku melakukan penetrasi aku pun menyambut kulumannya di bibirku.
Lalu ia pun terus turun ke arah buah dadaku dan menjilat putting susuku beberapa kali sambil mengigitnya. Gerakan mulutnya terus turun kearah perut dan singgah di organ vitalku yang kembali mulai basah. Aku semakin tak berani memandangnya saat itu. Hanya kedua tanganku yang terus memegang kepala dan bahunya yang sudah licin karena keringat apalagi dia sudah menahan birahinya untuk memasuki tubuhku.
Ketika ia terus menjelajahi liang kelaminku, aku makin merasa terbang dan merasa siap untuk menerimanya. Pikiranku terus bekerja tentang keinginan Bang Roji itu. Liangku aku rasakan sudah amat basah dan beberapa saat lagi akan meledak.
Bang Roji tampaknya tahu aku akan mendapatkan orgasme, namun aku dipermainkannya. Ia tiba tiba saja menghentikan jilatannya di belahanku yang telah basah itu. Cairan di liangku ia telan dan aku kecewa dengan sikapnya tadi. Aku gagal mendapatkan orgasme untuk yang kedua kalinya. Kedua kakiku masih terbuka seolah siap dimasuki kelamin Bang Roji. Bang Roji memandangku diam.
“Bang Oji jahat…aku abang siksa seperti ini. Bang tolong lah bang…jangan siksa aku seperti ini!” permintaanku saat itu.
Dengan pandangan yang masih menahan birahi Bang Roji membuka kedua kakiku terbentang. Aku tak lagi menahannya untuk membuka kedua pahaku agar ia bisa mengekspos organ kelaminku ini.
“Dik Rissa? Abang ingin masuk…apa dibolehkan?” bisiknya.
Ia terlihat amat menjaga perasaanku meski ia juga terlihat amat tersiksa saat itu. Bang Roji berusaha mempengaruhi mentalku dengan menarik tanganku untuk memegang kemaluannya yang cukup panjang dan telah siap dipakai itu. Aku yang menduga ia akan menarik tanganku ke arah pinggulnya tak tahu bahwa tanganku dibawanya ke arah kemaluannya.
Aku terkejut dan melepaskan peganganku yang hanya beberapa saat itu. Namun aku sudah cukup kepayahan saat itu. Rasa gatal di organ vitalku menuntunku mengizinkannya memasukiku walaupun konsekwensinya aku akan merasa sakit nantinya. Namun apalah yang terjadi nanti biarlah terjadi, demikian perkataan bawah sadarku. Dengan sikap diam dan posisi kedua kaki yang sudah terbuka, Bang Roji lalu mengangkat kakiku. Ia menggeser pinggulnya ke arah lipatan kelaminku.
“Bangggg…sshhh!!!” dengusku “Jaangann kaaasarr ya bangg.” pintaku.
Bang Roji diam saja sambil fokus untuk memasukiku. Bertahap dan sangat lambat ia mulai meretas jalan bagi kemaluannya memasuki aku. Kini dengan sangat hati-hati dan tak ingin menyakiti aku, bang Roji sudah menempatkan kepala kemaluannya di permukaan liangku. Perasaan berdebar dan takut silih berganti menderaku.
Aku pun memicingkan mataku dan hanya berusaha untuk menahan tubuhnya jika nanti merasa sakit. Perlahan namun pasti benda panjang dan besar itu, mulai masuk bertahap, aku mulai merasa sesak di liangku, detik detik pertemuan kelamin kami membuat debar debar aneh didadaku semakin keras. Dan rasa nyilu namun geli mulai aku rasakan.
Mister Sange – Cerita Sex Dewasa Beda Status
Karena licinnya liangku saat itu, juga kondisi aku yang memang tidak perawan. Tanpa kesulitan berarti kemaluan bang Roji pun masuk ke dalam kemaluanku meski saat itu aku sempat menahan tubuhnya karena rasa ngilu di liangku. Aku merasakan liangku seakan penuh oleh benda milik Bang Roji.
Bang Roji terus maju ke dalam liangku dan iapun menghentikan gerakannya. Ia mendiamkan kemalauannya di dalam liangku yang sudah serasa penuh. Aku sungguh merasakan rasa nyilu yang amat sangat juga penuh di organ intimku ini. Beberapa saat kami sudah menyatu seperti pasangan suami istri yang sedang memadu kasih.
Setelah kami sudah menyatu, Bang Roji mengulum bibirku. Aku menerimanya dengan mengulum juga lidahnya yang bermain-main membelit lidahku. Kini kami sudah menyatu satu sama lainnya. Ada rasa penyesalan dalam sanubariku saat itu. Kini aku tidak beda dengan suamiku yang juga telah berselingkuh dengan orang lain yang tidak aku kenal. Kini aku seakan dibutakan oleh rasa dendam kepada suamiku.
Aku sudah tak lagi berusaha menyelamatkan rumah tanggaku yang sudah di ambang kehancuran saat ini. Perbuatanku bersama Bang Roji saat ini merupakan perbuatan yang tidak terampuni di dalam suatu rumah tangga. Namun gejolak dalam tubuhku saat ini mampu mengenyampingkan pikiran pikiran sehatku selama ini. Dalam sikap diam beberapa saat itu Bang Roji lalu menghentikan kulumannya di bibirku. Ia lalu menarik kemaluannya keluar dan masuk lagi.
Beberapa kali ia maju mundur masuk ke dalam kelaminku. Tampaknya kelaminku sudah dapat menerima kelamin Bang Roji, juga rasa nyeri dan ngilu sudah berangsur hilang diganti rasa nikmat dan birahi yang meninggi. Aku merasa sudah siap untuk mendapatkan orgasme yang tertunda tadinya. Gerakan Bang Roji semakin kuat dan cepat. Tubuhku seakan boneka yang gampang ia gerakan maju mundur.
Aku pun mulai didera rasa yang mungkin tak didapat saat bersama suamiku. Tubuhku bergerak kuat menerima sodokan kemaluan Bang Roji yang semakin cepat. Kedua payudaraku juga bergoyang kuat dan keringatku seolah membanjir di atas kulitku. Aku hanya merem menikmati gerakan maju mundur bang Roji yang saat itu memegang pinggulku. Sesekali ia meremas payudaraku yang juga telah mengeras.
Dan muara dari hubungan kelamin kami berdua itu, aku pun semakin merapatkan kedua kakiku menjepit pinggul bang Roji, dengan dengusan yang aku tahan, aku pun semakin meraih bahu Bang Roji hingga tergores dan sedikit berdarah. Aku mendapatkan orgasme dari persebadanan ini. Aku pun terkulai lepas dan melepaskan cengkraman di bahunya dan kedua kakiku lantas terlepas dari panggul Bang Roji.
Namun Bang Roji seakan masih ingin terus memberiku kepuasan sejati. Aku sudah tak berdaya mengikuti gerakan Bang Roji. Ia masih saja masuk dan keluar berulang ulang hingga aku merasa nyilu di dalam kemaluanku.
Tak lama setelah aku mendapatkan Orgasme, Bang Roji pun lalu memajukan kemaluannya hingga mentok dan melepaskan spermanya di dalam rahimku. Aku tak berusaha melarangnya untuk klimaks did alam rahimku. Aku juga tak perlu kuatir sebab saat ini aku masih melakukan kb jadi masih aman.
Setelah bang Roji klimaks, aku merasakan lelehan spermanya yang keluar dari liangku. Ia tak langsung melepaskan kemaluannya dari liangku. Ia masih menindihku dan berada di atas tubuhku. tampak ia cukup kelelahan saat itu. Tak lama memang, kemaluan Bang Roji mulai ke wujud sebelumnya dan terlepas dari liang kemaluanku. Ia pun terkulai di sampingku.
Aku pun berusaha menutupi tubuh kami berdua dengan selimut. Padahal saat itu hujan masih mengguyur dengan cukup deras. seperti kebiasaan suamiku, setelah klimaks langsung tertidur. Bang Roji juga demikian, ia langsung rebah dan ngorok disamping aku. Aku pun membelakangnginya dan meresapi kejadian yang baru aku alami itu. Aku berpikir keras tentang hubunganku yang sudah semakin jauh dengan Bang Roji.
Aku pun sempat terbayang, mungkin begitu juga cara Bang Roji berhubungan dengan kedua istrinya. Pantas saja kedua istrinya tak mau minta cerai darinya. Sebab dalam berhubungan Bang Roji amat pengertian dan mampu memuaskan hasrat kedua istrinya, yang kini aku rasakan juga. Letih dengan hubungan badan yang baru aku alami dan pikiran pikiran tentang rumah tanggaku, akupun tertidur membelakangi Bang Roji yang tidur di sampingku saat itu.
Tak lama memang, saat itu telah menunjukan pukul 02.30, hujan telah reda dan hawa dingin malam menusuk kulitku. Aku terbangun oleh gerakan-gerakan yang aneh di sekujur tubuhku. Aku berusaha membuka mataku dan terliat Bang Roji sudah berada di antara kedua kakiku. Ia ingin melakukan persebadanan lagi saat itu.
Aku yang juga sudah pulih dari rasa letih karena sempat tertidur beberapa saat lalu menerima saja keinginan Bang Roji itu. Tak lama kemudian kami sudah saling mencumbu satu sama lainnya. Dalam keasikkan kami itu, bang Roji lantas menbisiki aku untuk melakukan oral padanya. Aku terkaget sebab aku tak sanggup melakukannya pada benda yang cukup besar itu. Apalagi selama aku berhubungan dengan suamiku aku tak pernah melakukannya.
Namun Bang Roji memberiku pengertian agar aku mau melakukan sebab nantinya aku pasti suka. Dengan masih gugup dan takut aku mencoba memasukkan kemaluannya kemulutku. Mulanya bau khas kelamin pria membuatku sedikit jijik, namun karena Bang Roji yang menuntun aku, makanya aku hanya mampu mengulum batangnya yang mulai keras itu. Memang batang kemaluan Bang Roji amat panjang dan tak muat oleh mulutku. Untunglah Bang Roji mau mengerti aku yang tak siap melakukan itu.
Kemudian kami pun saling membelai agar birahi kami kembali terbakar. Tak memerlukan waktu lama memang, aku pun diminta Bang Roji untuk naik ke tubuhnya. Ia hanya telentang dengan kemaluan yang tegak keras. Aku kemudian berusaha memasukkan tiang tegak milik Bang Roji ke lipatan kemaluanku. Dan beberapa saat kemudian aku pun bergerak naik turun. Sungguh hebat sekali sensasi yang aku dapatkan saat itu. Kuakui bahwa sensasinya amat dapat membuatku cepat orgasme.
Sedang bang Roji masih belum apa apa. Aku terlanjur terkulai di sampingnya. Dan Bang Roji lantas membelai belai payudaraku hingga aku merasa nikmat. Aku lalu ditelentangkannya dan kedua kakiku dibukanya. Ia masih memilin payudaraku dan lalu menjilatinya. Mulutnya lalu turun ke arah perut dan liang kelaminku. Di saat aku sudah mulai kembali naik birahi, Bang Roji lalu memasukkan kemaluannya yang telah keras itu, hingga mentok. Aku mendengus tertahan, merasa kelaminku penuh.
Dan seterusnya ia memaju mundurkan kemaluannya di liangku. Aku seakan tak diberi waktu bernafas malam itu. Keringatku kembali membasahi tubuhku. Dan di saat aku akan mendapatkan kembali orgasme, dengan mencengkram bahunya, Bang Roji pun semakin kuat dan cepat maju mundur dalam kelaminku. Bunyi bunyi pertemuan paha dan kelamin kami membuat nafsu kami berdua semakin memuncak. Tiba tiba aku merasa diserang ribuan rasa nikmat dan terbang.
Aku orgasme dan Bang Roji pun memuncratkan air cintanya dalam tubuhku. Beberapa saat yang terdengar hanya deru nafas puas kami yang terdengar. Bang Roji masih berdiam di atas tubuhku. Dia lalu melongsor di sampingku karena kemaluannya sudah kembali ke ukuran semula dan terlepas dari kelaminku. Aku sangat puas atas kenikmatan ragawi yang diberikan Bang Roji.
Tidak sama dengan yang diberikan suamiku yang setelah puas lalu menarik kemaluannya dari liangku. Kemudian dengan rasa capai yang terasa di tulangku aku tertidur berpelukan dengan Bang Roji. Kini Bang Roji bukan saja sebagai petugas keamanan kompleks namun juga sudah menjadi orang yang amat penting bagi kehidupan aku dan putriku.
Paginya di saat aku terbangun, aku buru-buru membangunkan Bang Roji agar jangan sampai kepergok putri kecilku. Bang Roji cukup paham akan kekuatiranku ini. Ia lantas mengenakan pakaiannya yang sudah berceceran. Aku sempat melihat benda yang semalam memasukiku itu yang kini terkulai lemas. Dengan sedikit malu aku lengoskan mukaku dari pandangan mesra Bang Roji.
Setelah pakaiannya terpasang ia pun keluar kamar. Bang Roji langsung pulang kerumahnya,mumpung masih sepi dan belum ada yang tahu. Aku pun lantas turun dari pembaringan, namun rasa nyilu dan pegal di persendian tubuhku membuatku bermalas-malasan hari Sabtu itu.
Untunglah hari itu aku tak masuk kantor. Aku berusaha memunguti pakaianku yang juga berceceran di lantai dan memasukannya ke dalam kain kotor. Aku pun membersihkan kain sprey yang juga sudah awut awutan ditambah oleh adanya noda noda cairan sperma dan keringat kami berdua.
Aku lalu masuk ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan tubuhku yang aku rasakan lengket-lengket di sana sini. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku pun memasukkan kain kotorku ke dalam mesin cuci. Pagi itu aku mencuci semua pakaian kotorku juga milik putriku.
Tak lama aku pun menjemurnya. Aku lihat di kamar putriku, rupanya dia sudah bangun dan aku ajak dia untuk mandi pagi itu. Setelah memandikan putriku aku pun memasak makanan yang akan aku makan berdua dengan anakku. Pagi itu perutku terasa lapar, karena malamnya memang habis bertarung birahi dengan Bang Roji. Aku sempat senyum sendiri membayangkan yang kami perbuat malam tadi.
Setelah semuanya beres dan aku juga sudah minum suplement agar tubuhku tetap bugar, aku pun mengajak putriku untuk jalan keluar. Sebab aku merasa berdosa padanya akibat perbuatanku dan bang Roji malam tadi. Dengan mobil aku ajak putriku jalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Setelah beberapa jam melakukan jalan-jalan dan membeli segala keperluan, aku pun balik pulang. Dan di gerbang menuju kompleks, kami bertemu Bang Roji yang sedang tugas. Putriku minta berhenti dan ia ingin bertemu Bang Roji. Lalu tiba-tiba saja putriku minta agar kami jalan-jalan ke Anyer lagi. Ia ingin main air laut katanya.
“Maaaa…Cici ingin ke pantai, baleng Pak Roji!” katanya dengan suara yang masih cadel.
Aku memandang Bang Roji. Dengan alasan Pak Roji masih tugas aku berusaha menenangkan putriku. Namun Bang Roji bilang bahwa ia tugas sampai jam 15,00.
“Nah sorenya kita bisa ke sana dik Rissa” terang Bang Roji, “kan Besok hari minggu, abang bisa libur.”
Aku pun terpaksa menuruti kemauan putriku itu. Setelah menyiapkan bekal seadanya, sore itu kami berangkat ke pantai Anyer bertiga dengan Bang Roji dan putriku. Selama perjalanan aku yang menyetir sebab Bang Roji tak bisa nyetir.
Dalam perjalanan itu, putriku dan Bang Roji asik bercanda dan bermain main. Terdengar tawa keduanya yang duduk di bangku belakang. Entah apa yang diketawakan mereka berdua. Tampak sekali putriku butuh sosok ayah, dia terlihat manja bersama Bang Roji. Sesampai di Anyer, kami pun turun dan aku mengurus sewa villa yang akan kami tempati.
Aku dan Bang Roji memasukki villa dan membawa segala keperluan yang telah aku siapkan dari rumah. Aku pun lantas mengeluarkan makanan juga penganan yang akan kami santap malam nanti. Sementara aku di Villa asik masak dan menyiapkan makanan, Bang Roji dan putriku asik juga bermain di pantai hingga senja menjelang.
Setelah puas bermain main di pantai, putriku aku bersihkan dengan air hangat dan suapkan makanannya. Mungkin karena telah lelah selama perjalanan dan main air laut, putriku pun tertidur. Akupun membaringkannya di kamar yang satunya lagi agar ia bisa dengan nyenyak tidur. Saat aku menidurkan putriku, bang Roji sedang duduk di beranda villa, sambil menghisap rokok.
Aku pun memanggilnya untuk makan sebab aku tahu ia tentunya sudah lapar juga. Malam itu kami pun makan berdua di meja makan ruang tengah villa. Setelah makan dan menutup makanan dengan tudung yang aku bawa dari rumah, aku pun keluar villa untuk mencari angin.
Aku berjalan menyusuri bibir pantai seorang diri dan tak lama kemudian aku sampai di pantai dekat villa. tampak Bang Roji masih duduk di pinggir pantai dekat Villa. Ia sengaja tak jauh dari villa sebab kuatir nanti putriku terbagun dan nangis. Apalagi katanya ia ingin menjaga villa agar tak dimasuki maling, sebab di daerah itu sering terjadi kehilangan katanya.
Melihat aku yang berada di pantai dekat villa, Bang Roji berjalan ke arahku. Dia lalu meraih tanganku. Seoalah kami pasangan suami istri iapun lantas menciumi tanganku, aku lantas dipeluk dan kami pun berjalan ke arah villa. Masih dalam berpelukan kami pun masuk villa. Bang Roji lalu menutup pintu vila dan mengandengku ke kamar. Sampai dalam, kami pun naik ke pembaringan.
Aku tak sanggup berkata apa-apa sebab kami akan menjalani sorga dunia yang baru kami lakukan. Tidak terlalu berlama lama kami pun sudah dalam keadaan bugil. Dengan cumbuan dan rabaan yang cukup intens di payudara dan liang intimku, malam itu pun kami melakukan hubungan kelamin untuk yang kesekian kalinya.
Bang Roji kurasakan amat perkasa dan mengerti apa yang aku inginkan. Kini aku sudah menemukan seseorang yang mampu mengisi hari-hariku, meski aku merasa sedikit cemburu jika ia berada di rumah istri-istrinya. Malam itu di vila yang aku sewa, aku kembali dihantarkan Bang Roji menggapai kepuasan sebagi wanita dewasa seutuhnya.
Kini aku mendapatkan kepuasan itu dari orang yang aku curigai dulu sering mengintipku itu, apalagi dulunya aku amat tak suka padanya, namun kini aku sudah bisa menerimanya luar dalam. Aku selalu merasa puas bersetubuh dengannya, selain kepuasan seksual, juga kepuasan psikologis mampu membalaskan sakit hatiku pada suamiku yang juga berselingkuh di luar sana.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,